02. Sekelam Malam

729 159 34
                                    

Mau tahu sesuatu tentang Park Jisung?

Tapi sebelumnya, Jisung pernah menegaskan bahwa ia tak punya sesuatu yang spesial untuk diumbar. Katanya, dia atau hidupnya itu sederhana. Dalam artian semua yang dilakukannya tak ada satu pun tindakan yang berarti. Paling-paling, bangun tidur, makan, berangkat sekolah, pulang, makan, tidur lagi. Siklus hidupnya selalu terulang seperti itu. Lama-kelamaan terpaksa membangkitkan sebuah perasaan bosan yang mulai menjerat jiwa.

Suatu hari, Jisung pernah mendeklarasikan bahwa manusia paling menyedihkan adalah dia yang tak bisa berkutik diserang oleh kesepian. Jisung punya televisi dengan kualitas yang baik, ponselnya seharusnya bisa menghibur dari kejenuhan yang kian membabi-buta. Jisung pernah mencoba membebaskan hidupnya dari benang kesepian; bermain gim, menonton bahkan sampai stalking figur favoritnya, dia pernah melakukan. Sayangnya, bagai kuman yang selalu menempel di tangannya, kesepian itu tak pernah tergiur untuk meninggalkannya.

Lalu, teman?

Ah iya teman. Satu kali di hari Kamis, ketika Jisung terduduk menyaksikan serial Spongebob, dia menggumam kecil. Katanya, salah satu yang paling susah didapat dunia ini teman. Nggak tahu kalau aku punya lima cabang perusahaan besar, puluhan mobil mewah dan rumah dimana-mana, mereka mungkin nggak sesulit itu buat didapat.

Sama seperti hidupnya, keinginannya pun sederhana. Alot untuk mengakui, pada akhirnya Jisung menyerah. Kenyataan bahwa obat paling ampuh untuk menyembuhkan kesepian ialah seorang teman.

Tapi itu bukan berita baik.

Orang bilang, mencari teman itu semudah kamu membalikkan telapak tangan. Tinggal tepuk pundaknya lalu kamu melambaikan tangan dan katakan hai. Kemudian voila! Selamat, kamu berhasil mendapat satu teman.

Katanya begitu. Jisung ragu. Entah dirinya yang bermasalah atau benaknya. Satu kali, Jisung pernah melalang-buana. Bahwa arti teman yang sebenarnya bukan yang dimaksud orang-orang.

Apa itu teman? Teman adalah satu dua orang yang berjanji akan selalu ada di sisimu. Tak hanya hadir untuk berbagi kebahagiaan tapi juga dengan kesedihan. Sementara yang Jisung dapat selama ini sekedar mereka yang niatnya mendapat cipratan kebahagiaan darinya.

Hari itu, tanggal 27 Juli. Di sekolah lamanya, dia terduduk bersama seorang pemuda yang tingginya 8 sentimeter lebih pendek darinya. 28 anak di dalam ruangan mulai dilanda ketar-ketir. Sang guru di depan kelas siap sedia memanggil satu per satu nama anak muridnya. Kemudian, sampai saatnya nama Jisung dipanggil.

"Park Jisung." Katanya.

Si empu nama bangkit dari duduknya. Melangkah dengan degup jantung yang ritmenya menggila tak beraturan. Tangan kanannya terulur, menerima selembar kertas. Otaknya merespon cepat ketika sebuah hembusan nafas berat diudarakan. Jisung membeku untuk beberapa sekon, dia tahu ini bukan hasil yang baik.

Berbalik, dia pulang menempati bangkunya. Membalik kertasnya, netra itu pada akhirnya disapa oleh mimpi buruk yang tak pernah ia inginkan.

"B-bwahaha! Kamu dapet angsa lagi?!" Tawa keras tercipta dari sang teman sebangku.

Yang dia sebut angsa itu bukan hewan. Di atas pojok kanan hasil ujian milik Park Jisung, angka 2 ditorehkan di sana. Lantas, perasaannya luluh lantak. Ketika tawa itu keras membahana, Jisung tercabik-cabik karenanya. Ini jelas menyakitkan. Walau Jisung mungkin tahu tawa itu mengudara dalam rangka sebuah candaan. Tapi itu bukan lelucon yang baik. Alih-alih menaburkan tawa, Jisung malah bertabur luka.

"Diem." Satu kata itu meluncur dalam penekanan yang luar biasa kuatnya. "Aku muak."

Kemudian, tawa sang sobat terhenti dalam satu kedip mata. Air mukanya terkejut-kejut. "Heh, kamu kenapa?" Merasa ada sesuatu yang tidak beres, dia memastikan. Sayangnya, Jisung melengos.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang