19. Jendela Kerapuhan

158 32 2
                                    

Mau dengar sebuah dongeng kecil yang mungkin bisa menghibur?

Dulu sekali, ada seekor kelinci. Manis, menggemaskan namun penampakannya sedikit lusuh akibat banyaknya noda yang menjadi bercak abstrak layaknya percikan cat di atas sebuah kanvas. Suatu hari, dia tersesat. Di antara batang-batang pohon yang menjulang semampai, dia ditimpa kemalangannya. Kaki-kaki kecilnya itu terus membawa lompatan kecil. Berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Tapi alam sedang digelayuti kemarahannya. Mungkin sebuah teguran bahwa seharusnya si kelinci tetap memaku di rumahnya sesuai petuah ibunya.

Kemudian, rintik-rintik hujan mulai menyapa. Anginnya berhembus. Lebih dari kencang, si kelinci nyaris tertiup terbang. Daun-daun pohonnya melambai. Ketika kepalanya mendongak, langitnya menggelap. Dia mencicit kecil dalam ketakutan.

Ketika kaki-kaki mungilnya semakin dipacu, dia malah kehilangan keseimbangannya. Di tepi sungai, dia jatuh terpeleset. Lalu, deburan air bagai malaikat maut menjemputnya dengan cara yang mengerikan. Dia terseret arus bersama nahas yang terus mengalir deras.

Lantas, apa yang tersisa? Memangnya apa lagi? Tentu saja penyesalan yang selalu memeriahkan di akhir skenario.

Jisung ibaratnya sama diperumpamakan seperti si kelinci malang. Semua penyesalan yang merangkak menghampirinya berakar dari kepercayaannya terhadap Jeon Seongju. Kala itu, jika saja dia tetap terjebak dalam kesendiriannya, tanpa menggapai uluran tangan Seongju untuk pernyataan pertemanan palsu itu, segumpal pedih rasa sesal ini tak akan menghantuinya.

"Jisung."

Si empu nama berhenti. Tungkai kakinya dipaku sesaat. Seseorang rupanya masih setia mengekori langkahnya bagai bocah yang takut kehilangan jejak ibunya.

"Kamu keberatan kalau aku ceritain semuanya?"

Bukan Chenle, apalagi Seongju yang dinobatkan menjadi manusia khilaf lewat taubatnya. Itu Jinyeon. Salah satu yang paling tersiksa dengan berbagai macam rasa bersalahnya.

Jisung tak mengudarakan persetujuannya, Chenle pun tidak. Tapi pada akhirnya, mereka berbelok. Masuk ke dalam sebuah toko serba ada yang letaknya di sisi kiri jalan. Keluar bersama satu cup ramyeon masing-masing, ketiganya singgah di sana. Duduk di bawah kanopi yang menaungi. Melindungi dari terpaan air kalau-kalau hujan mendera tanpa permisi.

Satu-satunya sosok yang dinanti-nanti suaranya, malah bungkam tak beralasan. Jinyeon membeku. Rentetan kalimat yang malah membuat pusaran rumit itu memaksanya untuk tetap diam. Cup ramyeon miliknya dibiarkan terbuka lebar. Ketika angin berhembus, perlahan-lahan, kepulan asap panasnya mulai lenyap. Mengelilingi cup-nya, kedua tangan itu bertaut. Bibirnya sulit dibuka. Ketimbang sebuah penjelasan, Jinyeon justru merasa disebut sebagai tersangka utama saat ini.

"Aku nggak tahu harus ngomong dari mana. Masa lalu Seongju, apa kamu mau tahu itu, Jisung?" Matanya menatap takut-takut.

"Aku tertarik." Alih-alih, Jisung yang menyahuti, Chenle lebih dulu mewakili. Bersama pipinya yang menggembung, dia menoleh. "Jisung juga pasti penasaran."

Jinyeon membawa satu anggukkan kecil, dia menyanggupi. "Dulu, aku sama Seongju satu SMP.  Kita temenan kayak biasanya. Tapi tiba-tiba, aku liat dia nyaris mukul temenku yang lain pakai kursi. Seseorang laporin dia ke guru konseling dan aku ditunjuk jadi saksi. Waktu pertama kali itu, aku masih belain dia karena dia temenku. Mulai hari itu, aku tahu kalau Seongju kayaknya suka bully. Terakhir kalinya, yang paling parah, dia pernah hampir ngeracunin satu sekolah karena alasannya yang katanya cuma iseng." Menciptakan jeda untuk beberapa sekon, Jinyeon terkekeh masam. "Begonya aku malah kasih dia janji. Kesepakatan, kalau seandainya dia mau berhenti bullying, aku bakal tetep terus jadi temennya. Tapi itu percuma. Jisung, sekali lagi aku minta maaf." Masih sedalam sebelumnya, kalimat penanda sesal itu masih terus terulang.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang