Sebelumnya, Chenle tak pernah mengira bahwa ia sempat kehilangan arah. Luntang-lantung laksana manusia nelangsa yang direnggut paksa oleh pahitnya takdir.
Dulu, mulutnya selalu meluncurkan kalimat indah ketika sang Papa menanyainya. Chenle, kamu kurang suka sama kamarmu? Misalnya. Chenle menggeleng. Semuanya cukup. Cukup indah untuk ia tinggali. Tapi sekarang, istananya berubah menjadi neraka mengerikan. Lantainya yang mengkilap tak pernah diterpa debu, lebih mirip dengan jembatan kayu rapuh yang bila ia kurang hati-hati saat melintas, maka ambruk. Dia terjatuh, dilalap lautan lava yang siap menenggelamkannya dalam siksaan panas tak tertandingi.
Jadi untuk pertama kalinya, hunian megah yang menjanjikan kenyamanan berlipat ganda, ia enyahkan.
Tungkai kakinya terus mengayun. Terlalu acuh untuk mencari-cari jawaban atas pertanyaan singkat sebatas kemana? Kemanapun asal tidak pada sangkar emasnya.
Di sana, di dalam sana ada satu orang yang ia kagumi. Ibarat lebah memuja sari-sari bunganya, Chenle menolak keras untuk jauh darinya. Tapi manusia dan perasaannya terlalu mudah untuk dijungkir-balikkan. Hari ini bahagia, besok sedih. Hari ini suka, besok benci. Chenle tahu mengacuhkan papanya sendiri tidak termasuk pada daftar tindakan baik yang diajarkan padanya.
Bukan. Bukan keinginan Chenle untuk menjatuhkan kebencian pada papanya sendiri. Melainkan paksaan takdir. Waktu memojokkannya. Tak memberi pilihan lain sampai dia didorong masuk ke dalam Palung Mariana, sempurna dengan rasa kecewa, sesal dan sendu yang siap membinasakannya kapanpun dia mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Seandainya dia bisa menyalahkan uang untuk melindungi papanya. Seandainya lembaran-lembaran kertas itu bisa bertanggung-jawab.
Tidak, itu mustahil.
Seandainya papanya lebih mau berkorban. Seandainya papanya tidak terus bergantung pada kertas-kertas penguasa dunia itu—yang benar andai-andainya seperti itu. Sebab walaupun Chenle teramat ingin menjatuhkan kebenciannya pada uang, itu konyol. Kamu pikir uang bergerak tanpa ada yang memerintah? Kamu pikir uang punya inisiatif sendiri untuk melindungi tuannya? Lucu. Itu uang, sekedar tumpukan kertas tak berdaya yang tidak akan bisa bergerak kecuali sepoi angin menghembusnya. Bukan anjing yang menyayangi majikannya sampai rela berkorban.
Sekali lagi, pada alam, pada angin yang terus menggugurkan semangatnya, Chenle butuh sekelumit jawaban dari pertanyaannya. Membenci seorang ayah, apa itu pantas dilakukan oleh seorang anak?
Tiba-tiba, langkahnya memberat. Beban yang dipikulnya kian berat. Ditimpa kenyataan pahit bertubi-tubi; rangkuman kisah Park Jisung dan keterlibatan papanya pada kecelakaan orang tua Jisung.
Chenle berhenti. Kepalanya menunduk. Normalnya, bila hatinya tidak sedang gundah, dia akan membungkuk. Memungut selembar kertas uang 1000 won yang teronggok tanpa pemilik. Dia sendirian. Terpisah dari dompet yang aman melindunginya dari tangan-tangan panjang di luar sana.
Jisung harus kehilangan orang tuanya. Tapi kenapa Papa malah bayar polisi-polisi itu pakai uang bukannya pakai tanggung jawab?
Cari aman. Chenle tahu konsepnya yang terlalu simpel tapi amat sangat melilit bagi Jisung. Di satu sisi, Chenle tak akan pernah mau papanya sempat berlabuh untuk hidup beberapa saat di balik jeruji besi yang menyeramkan. Tapi sisi lainnya—kata hatinya—menekankan bahwa Jisung lah yang paling menderita.
Problematika hidup lebih rumit ketimbang kimia atau matematika. Tidak perlu rumus, tidak perlu angka. Lucunya, pemecahannya butuh waktu lama sebelum semuanya kian memburuk.
Chenle mendongak. Bagus, sekarang coba lihat kemana kaki ini membawanya pergi. Dia menoleh, setengah terkejut kala bangunan yang lama tak ia kunjungi, menyambut jelaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shy Shy Jwi ✔️
Fiksi PenggemarPark Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong Chenle menerka bahwa Jisung sekedar remaja biasa yang kelebihan sifat pemalu. Tapi kian lama waktu bergulir, dia menemukan potongan-potonga...