11. Cara Untuk Bangkit

259 45 4
                                    

Kalau ditanya siapa yang paling andal membuat Jisung dibuat setengah mati penasaran, itu cuma Zhong Chenle.

Lihat. Bahkan sampai jam ke-3, sampai bel sekolah membawa deringan merajalela, sampai sang guru mengucapkan salam perpisahan, sampai itu Chenle belum membuka mulutnya. Kalimatnya belum meluncur dari lidahnya untuk menjawab pertanyaan Jisung yang lalu.

Chenle, darimana kamu tahu?

Jisung tak sempat mendongeng perihal kecelakaannya di pagi-pagi buta. Jisung tak sempat menghakimi Hoseung atas tindakannya. Jisung tak sempat mengeluh karena itu. Tapi Chenle lebih dulu menangkap basah segalanya.

Jisung bukannya mendesak. Sayangnya, rasa penasaran itu kian menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. Bagai virus mematikan, dia terjangkit. Sesekali kepalanya menoleh. Menyaksikan raut si kawan yang setenang beriak air. Chenle melangkah di sisi kanannya. Dia jelas tidak sedang melakukan kesibukan apapun tapi Jisung dibuat enggan. Padahal sekedar pertanyaan yang mana hanya ada 3 kata untuk diucap.

Maka, Jisung meraup oksigennya yang bertebaran dimana-mana. Mulutnya terbuka. Tenggorokannya nyaris membawa keluar bariton kepunyaannya. Tapi tercekat. Suara lain lebih dulu menyambar.

"Itu rumahmu?"

Jisung terkesiap. Chenle bersuara. Telunjuknya mengarah tepat pada huniannya. Pada rumah berpulangnya. Pada tempat berlindungnya dari dunia kejam tanpa ampunan.

Mengangguk, Jisung mengiyakan.

Tak ada yang istimewa dari sebuah rumah minimalis bernomor 54A di kanan jalan. Paling-paling kamu cuma bisa menemui atapnya, lantai yang lumayan tebal karena debu atau jendelanya yang dihinggapi banyak kuman. Tak ada taman asri yang bisa menyejukkan jiwa atau ragamu. Tak ada kilauan emas yang menanti untuk dipamerkan. Tak ada pula koleksi kendaraan mewah yang glamor.

Bahkan untuk alasan, Jisung sama-sama dibuat penasaran. Ketika Chenle mengudarakan pintanya, ayo ke rumahmu. Jisung sekedar mengangguk.

Undakan tangganya yang tak sampai 10 itu dilewati. Sang tuan rumah terang-terangan membeberkan sandi rumahnya. Peduli apa? Chenle mana mungkin merangsek ke dalam gubuk ini untuk melakukan satu dua hal pencurian?

Bunyi cekliknya ikut mengudara. Lawangnya dibuka, Jisung memimpin masuk. "Maaf kalau nggak nyaman." Ujarannya mengawali.

"Wah, minimalis." Chenle mengamati. Kepalanya ditolehkan ke beberapa arah sesuka hatinya. "Nyaman kok. Minimalis itu yang terbaik. Aku suka bingung mau ngapain karena rumahku terlalu luas. Kelihatannya hampa."

Jisung melangkah lebih jauh. Tasnya dicampakkan. Tak berniat membangun kesan sebagai seorang anak yang rajin, dia membiarkannya teronggok tanpa ditata. "Tapi kelihatannya sempit dan lumayan berantakan karena luasnya terbatas." Jisung menimpali. "Rumahmu mungkin bisa buat main golf kalau kamu bosen. Jadi kelihatannya nggak hampa kayak yang kamu bilang."

Jisung menanti-nanti. Barangkali Chenle tergelak geli atau menepis malu. Merendahkan dirinya tipikal orang kaya yang tak mau disanjung-sanjung. Tapi sampai setengah menit berikutnya, Chenle tak kunjung memberi satu dua patah kata. Sebagai gantinya, derap langkah samar itu mengudara. Dia mengayunkan tungkai. Tertarik membuka lemari pendingin di pojok ruang.

"Sebelum kamu bilang anggap aja rumah sendiri, aku lebih dulu menerapkan ya." Kalimatnya menyambangi udara yang sempat digelayuti sepi.

Gagal menjadi tuan rumah yang baik, Jisung menimpali. "Anggap aja rumah sendiri." Katanya.

"Terlambat." Chenle mencibir cuma-cuma sekedar candaan ringan. "Orang tuamu mana? Aku mau kenalan buat bikin kesan pertama sebagai anak yang baik hati, lemah lembut, suka menabung dan tidak sombong."

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang