Coba beritahu apa yang lebih cantik dari semburat jingganya yang mengharukan? Apa yang lebih hebat dari fenomena sepele yang faktanya malah mengagumkan untuk ditatap?
Kaki-kaki itu menggantung. Diayunkan sekali-sekali. Satunya sibuk menopang tubuh sembari menerawang jauh sementara yang satunya menunduk jauh ke bawah sana. Berandai-andai bilamana tubuhnya terjatuh. Dihempaskan bersama angin yang melenyapkan bobotnya. Melenyapkan lukanya yang menganga, siap melelehkan banyak darah. Melenyapkan segalanya sampai dia merasa kelewat ringan untuk menapaki terjalnya dunia.
Park Jisung agaknya selalu akan terpincut pada matahari yang tengah berusaha mengundurkan diri. Mendeklarasikan bahwa ini sudah saatnya berpulang. Jam kerjanya berakhir dan tuan bulan-lah yang seharusnya menduduki tahta itu.
Sunset.
Jisung tidak tahu-menahu darimana sisi emosional ini bermunculan. Padahal sekedar semburat yang mana terkadang membuat matanya menyipit. Tapi dibalik kata padahal itu, Jisung menemui sebuah keajaiban yang ia tahu tak akan pernah bisa ditemukan di manapun.
Sebab Tuhan terlalu pandai menciptakan alamnya yang ramah untuk para insan-Nya.
"Chenle." Panggilan itu mengudara. Kakinya masih membawa guncangan lemah, bergelantung layaknya seutas tali. Hati memberat ketika tungkai dipaksa melangkah pergi dari atap sekolah. Tempat terpencil yang jarang terjamah rupanya surga rahasia untuk Park Jisung.
"Hm?" Sahutannya menjawabi panggilan si sobat.
Bersama semilir anginnya yang memabukkan, Jisung berujar. "Kamu gabung sama klub basket sekolah? Skill basket-mu pasti bagus kan? Apalagi kamu hobi mainin bola itu." Diakhiri dengan terkaannya yang gagal melenceng.
Tapi, sang lawan bicara malah mengejutkan lewat kepalanya yang menggeleng. "Nggak."
Alis itu terangkat sontak. Jisung menoleh, mengabaikan sesaat pertunjukan istimewa dari sang baskara yang kian melenyap. "Kenapa?" Pertanyaan itu singkat. Tidak rumit namun tersemat setitik rasa kecewa yang ikut terungkap.
"Nggak tahu. Nggak minat." Kedua bahunya diangkat acuh tak acuh.
"Aneh." Gumaman itu menyusul dengan nadanya yang melirih. Untuk Chenle, atensi itu disudahi. Matanya kembali terpikat, jatuh pada pesona sunset yang enggan untuk diabaikan. "Biasanya kalau seseorang suka sama bidang tertentu, mereka pasti bakal ikut beberapa hal yang menyangkut sama hobinya itu. Tapi kenapa kamu nggak?"
Tarikan nafas itu terdengar merasuk sesaat ke dalam rungu. "Nggak semuanya punya konsep kayak gitu. Beberapa orang punya pertimbangan sama alasannya sendiri-sendiri."
"Dan kamu?" Kakinya berhenti berayun selepas membawa benturan kecil pada puncak gedung sekolahnya. "Apa pertimbanganmu? Apa alasanmu?"
"Nah, kalau aku nggak ada. Nggak punya pertimbangan dan alasan satu-satunya cuma nggak minat."
Jisung mengerti. Bibirnya mengerucut kecil. "Sayang banget. Katanya klub basket lagi kekurangan anggota karena salah satu di antara mereka ngundurin diri. Aku tanya ke kamu barangkali kamu tergiur."
Kali ini, giliran si Zhong yang direbut atensinya. Kepalanya mendongak. Menatap Jisung dari sisi kanan, dia bertanya-tanya. "Kamu tahu tentang mereka? Sejak kapan? Deket sama salah satu anggotanya atau ada sesuatu yang nggak aku tahu?"
"Aku nggak yakin itu bisa disebut deket." Netra itu masih belum membawa kedipan sekecil apapun kala baskaranya semakin dilalap oleh kegelapan. "Hari ini aku ngobrol sama kapten basketnya. Cuma ketidak-sengajaan karena aku hampir cetak skor. Bolanya jatuh ke depanku dan aku diminta buat lemparin itu, jadi aku lempar. Dan kata kapten basketnya lemparanku lumayan bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shy Shy Jwi ✔️
FanficPark Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong Chenle menerka bahwa Jisung sekedar remaja biasa yang kelebihan sifat pemalu. Tapi kian lama waktu bergulir, dia menemukan potongan-potonga...