21. Semanis Madu

192 32 2
                                    

Kalau kamu mau mengenal Zhong Chenle lebih jauh lagi, tidak usah repot-repot mengoreknya, sebab Jisung akan dengan lapang dadanya mengungkap apa yang ia pandang dari seorang sobat baik—si konglomerat Cina.

Poin pertama, Chenle murah hati—itu pasti dan tidak bisa ditentang—Jisung tidak membuka sesi protes sebab ia 100% menyetujuinya. Poin kedua, Chenle keras kepala. Jangan gaet dia sebagai lawan debat kalau kamu tidak cukup berbekal banyak olah kata yang menusuk dan membuat Chenle kalah telak. Dan poin terakhir adalah fakta bahwa Chenle terlalu ambisius untuk meraih apa yang ia inginkan.

Tidak usah muluk-muluk. Lihat betapa kerasnya dia membujuk, merayu atau bahkan memohon-mohon kepada Jisung. Bibirnya manyun ke bawah bersama tangannya yang ditangkup rapat. Dia merengek untuk kembali belajar bersama.

Ini berat, sungguh. Untuk seukuran Jisung yang banyak menghabiskan waktu sekedar mengulang bagaimana caranya belajar dan jatuh tersaruk-saruk untuk bangkit, itu lumayan berat. Sebab Jisung benar-benar ingin mengakhiri torehan luka akibat hasil yang mengkhianati usahanya.

Orang bilang, guru-gurunya bilang, matematik itu ilmu yang pasti. 1+1 jawabannya pasti 2. Di bawah naungan akar-akar yang mengurung angkanya, pasti ada rumus penyelesaian paling efektif untuk membimbingnya menemukan hasil.

Tapi itu bohong.

Dilihat dari persepsi korban kegagalan matematik yang kian bertambah jumlahnya, mereka nampak muak. Usai diserang sakit kepala yang luar biasa dahsyatnya, mereka malah disambut jalan buntu. Gelap. Rasanya seakan tengah ditinggal oleh laju kereta yang harusnya kamu tumpangi. Siapa yang tahu bahwa usut dari kegagalan itu sekedar kurangnya satu nol yang tertinggal sebab minimnya ketelitian?

Matematika rumit, tapi manusia lebih-lebih.

Jadi, coba beritahu Jisung apa yang bisa dia lakukan untuk mengelak ajakan Chenle? Berpura-pura sakit perut sampai harus akting keluar-masuk kamar mandi? Atau haruskah dia jatuh terkulai bersama kelopak mata yang memejam rapat—pura-pura pingsan?

Tidak, itu ide buruk. Ide yang amat sangat buruk. Kepura-puraan itu tidak lebih dari gerbang baru penyambut masalah lain yang kian bercabang. Jangan remehkan Chenle. Dia peka, dia pembaca situasi yang baik. Kamu pikir, ketika temannya meraung-raung kesakitan sebab perutnya yang serasa dilindas buldoser atau terkapar bagai ikan yang tak bisa menggunakan insangnya di daratan, dia akan berdiri terbengong-bengong. Tentu saja tidak. Yang ada Jisung malah kelimpungan sewaktu Chenle mengajaknya masuk ke klinik untuk memeriksakan keadaannya.

Ada pilihan lain? Tidak ada. Kali keduanya, Jisung dibuat kembali menyerah.

Lewat jendela kacanya yang kilat mentransferkan cahaya matahari, Jisung terduduk di sisi kanan si Zhong. Kepalanya menoleh sekedar memastikan bahwa cuaca hari ini terlalu terik. Matanya menyipit, nyaris menenggelamkan jelaganya yang gelap. Tangan kanannya diangkat, menaungi dahinya sendiri. Memperkecil cahaya yang  menusuk mata.

Hari kedua acara belajar bersama Chenle —Jisung setengah terpaksa —menjadikan perpustakaan kota sebagai tempat berlabuh. Ketimbang sebuah perpustakaan, bangunan di Gwanak-gu yang mana lawangnya dicat warna hitam lantas dibubuhi semacam gambar sebagai penghibur kecil-kecilan ini, lebih mirip disebut sebuah kafe. Nuansanya menyejukkan walau Jisung sedikit terganggu akibat besarnya jendela yang dipajang.

Suara gesekan tahu-tahu mengudara. Jisung menoleh. Mengenyahkan sinar mataharinya yang seolah tengah menentang dirinya untuk segera menyerah.

"Kenapa diambil?" Alisnya menukik bersamaan ketika Chenle malah menarik jauh sebuah buku panduan yang lebih-lebih tebal dari yang Jisung punya di rumah. "Bukannya kita mau belajar?"

Chenle belum menyahut. Dia benar-benar menutup buku setebal 1,5 sentimeter itu. Buk! Bunyinya lumayan keras sebelum disusul suara resleting ransel yang dibuka.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang