34. Broken Childhood II

104 25 1
                                    

Jisung benar untuk tidak meragukan Lee Jeno. Dia nyaris sama persis seperti Kim Doyoung. Tutur katanya lembut seakan hati lawan bicaranya serapuh kayu lapuk yang dimakan usia.

Jeno bukan orang jahat, bukan pula anak nakal yang hobi menciptakan percikan api kemarahan kawannya. Dia anak baik. Seharusnya Jisung membuang jauh-jauh praduga negatifnya. Sebab Jeno tak lebih dari seorang anak 10 tahun yang hebat mengayomi. Tangan kirinya menggaet pergelangan tangan milik Jisung. Membimbingnya untuk tetap dalam kawalannya. Orang asing yang terlalu baik merelakan dirinya menjadi tameng untuk orang yang baru dikenal 15 menit lalu.

Bahkan ketika Jisung menunduk. Matanya penuh binar keinginan yang kelewat menonjol layaknya laser. Jeno menyadari. Dia ikut menunduk kemudian dengan lapang dadanya, menyerahkan mobil kesayangannya untuk si Park.

"Kamu bisa mainin mobil ini kalau kamu mau."

Jisung melonjak bahagia. Senyum lebarnya mengembang bagai bolu manis yang baru diangkat dari pemanggang.

Jeno tenang namun bukan anak pendiam. Dia punya banyak kisah dan tidak segan membaginya pada Jisung. Katanya, kakak perempuannya mengerikan kalau sedang marah. Jisung sempat mengudarakan pertanyaannya, penasaran seperti apa gambaran kakak si Lee. Dia menerka-nerka. Apa dia mirip nenek sihir?

Tapi Jeno menggeleng. Menegaskan bahwa kakak perempuannya enggan mencak-mencak bagai seorang lintah darat yang dikhianati salah satu peminjam uangnya. Ketika Jisung sibuk bertanya-tanya, Jeno mencontohkan bagaimana kakaknya marah.

"Keningnya mengkerut. Mukanya tegang kayak lagi nahan buang air besar. Kalau aku lewat, dia pasti sok nggak tahu aku ada di sana. Marah tapi kayak ngambek. Noona kalau marah diem. Serem." Bahunya bergidik ngeri kala Jisung terkekeh kecil.

Jeno anak yang asyik dimintai cerita. Dia bisa mengemas dongengnya dalam versi yang menarik. Menyita semua atensinya, mengacuhkan lingkungan di sekitarnya, sampai tawa akhirnya meluncur.

Jisung tergiur untuk mengeluh ketika Jeno mengakhiri kisahnya. Tadinya dia mau menagih cerita lucu lainnya. Sampai tawa kerasnya mengudara. Sampai perutnya sakit atau sampai lututnya tak sanggup lagi menopang tubuh mungilnya. Tapi Jeno lebih dulu meluncurkan kalimat sambutannya dengan nada ceria.

"Tada! Kita udah sampai!" Kedua tangannya direntangkan lebar-lebar.

Saat itu tiba, Jisung mengacuhkan Jeno. Menelisik bangunan sederhana di depannya. Atapnya putih. Dindingnya oranye, terang menyaingi sinar mentarinya yang mentereng di siang hari. Jisung tak tahu apa tujuannya dicat seterang itu, barangkali oranye melambangkan sebuah harap akan keceriaan yang tak akan pernah berakhir.

Halamannya luas dipenuhi rumput-rumput hijaunya yang barusan dipangkas (sebab Jisung bisa menemukan alat pemotongnya di samping halaman). Di sisi kiri halaman, ada satu-satunya wahana kecil-kecilan yang lumayan ampuh mengusir bosan; ayunan. Ketika Jisung sampai, halamannya sepi sebab malam mulai menyongsong.

Tapi sesuatu menciptakan benang panjang yang kemudian saling melilit di benaknya. Terlalu banyak jendela. Di atas, di bawah, di sisi kanan atau di sisi kirinya, dinding oranye itu penuh jendela.

Jisung menoleh. "Hyung, ada berapa banyak kamar di rumah ini?" Kepalanya sedikit mendongak karena tubuh Jeno lebih menjulang beberapa sentimeter darinya.

"Nggak tahu. Tapi kira-kira ada 10?" Jawaban itu lebih menyerupai gumaman. Memberitahu bahwa si penjawab juga tak tahu pasti perihal pertanyaan Jisung. "Ayo masuk. Jam segini mereka belum makan malam. Kamu bisa ikut makan malam juga kalau laper."

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang