9 jam mengenal Zhong Chenle, Jisung punya banyak imajinasi. Tak diduga-duga, rupanya Chenle membawa efek samping tersendiri—membuat Jisung semakin andal dalam hal melalang-buana dalam benaknya. Terakhir, Chenle melambai bersama bentang senyum lebarnya. Sosoknya nampak nyaman terduduk di dalam mobil mewah seharga jutaan dolar. Keren—Jisung sempat membatin. Kemudian sampai di detik saat ini, benaknya kian meliar. Mobil mewah yang ampuh membuat mata silau saking mengkilapnya, pernak-pernik yang sepele tapi rupanya lebih dari itu, sarapan dan makan malam yang porsinya sejempol kaki, Chenle pasti merasakan semua itu.
Kakinya meniti tangga yang undakannya sekedar lima buah. Jemarinya menekan pin rumah—0976— kemudian dering kecil mengudara disusul ceklikan pintunya. Jisung menyeruak masuk.
Tak pernah disangka, sesuatu menyapa rungunya. Ting, klontang, psstt, bunyinya semacam itu. Mulai dari dentingan, debum yang memekakkan rungu atau suara sesuatu yang dibakar. Bersama dengan baunya yang menyeripit, Jisung dibuat terheran-heran.
Tungkai kakinya diayunkan. Bruk, sebelumnya tas ransel yang sempat bertengger nyaman di kedua pundaknya dibiarkan terjatuh. Dicampakkan bagai batu yang tak ada nilainya.
7 langkah kakinya bergerak, obsidian itu berhasil menemui eksistensi sosok lain di dalam huniannya. Tempat berpulang yang cenderung diisi akan adanya kesepian dan kekosongan—dua hal yang tak hentinya menggerogoti Park Jisung.
"Hyung."
Dia berbalik. Lelaki yang 6 tahun lebih tua darinya menyambut dengan ulas senyum manis. Tangan kanannya yang tengah menggenggam sendok sayur itu diangkat, melambai kecil walau tak terlalu kentara gerakannya. "Oh, udah pulang? Tunggu sebentar jjampong-nya hampir siap."
Tapi, alih-alih terduduk manis bagai kucing menggemaskan yang tengah menunggu kedatangan tuannya, Jisung malah kian mendekat. "Doyoung Hyung kenapa di sini?"
Dia—yang kerap memamerkan diri sebagai koki paling baik sedunia—namanya Kim Doyoung. Seorang lelaki yang dijatuhi jabatan sebagai pengacara. Kasusnya nyaris lebih dari ratusan. Laki-laki yang sekaligus merangkap perannya menjadi kakak sepupu Park Jisung, tak pernah bisa diragukan keahliannya dalam memperdebatkan sesuatu. Mulai dari perkara keteledoran Jisung yang seringkali lupa mengunci pintu sampai hukum pencemaran nama baik.
Doyoung bawel, amat berkebalikan dengan Jisung. Ekstrover melawan introver layaknya peran Zhong Chenle saat ini. Tak mau berkelit, Jisung mengakui terang-terangan bahwa Kim Doyoung ini galak—lebih galak dari orang tuanya. Hobinya marah, sedetik menggerutu, detik berikutnya mendesis tak suka disusul desas-desusnya sendiri.
Jisung itu sasaran empuk bagi Doyoung. Secuil kesalahannya ampuh membuat rungunya hampir malfungsi. Contohnya ketika yang lebih muda sesekali lupa menutup keran atau mematikan lampu, maka kiamat sudah. Keteledorannya seolah menjadi bensin sementara Doyoung adalah apinya.
Walau begitu, sesibuk apapun Kim Doyoung, dia tak pernah tertarik untuk mengesampingkan sang adik sepupu. Sesekali datang mengunjungi kemudian Jisung akan selalu dibuat terkejut-kejut sebab kedatangannya yang tak pernah bisa ia terka.
"Kamu ngusir?" Kepalanya menoleh sebatas dagu.
Jisung menggeleng. Merutuki untaian kalimatnya yang tak terlalu benar penataannya. "Bukan gitu. Minggu kemarin Hyung kan ada klien di Incheon, terus tiba-tiba muncul di sini jadi aku agak bingung." Dia beralibi.
Jjampong yang mengkilap, menggiur lewat merahnya ia kini diangkat. Selesai diberi sentuhan terakhir, Doyoung mengguyur mangkuk putih tulang itu. Uapnya mengepul, membumbung tinggi bersama harumnya yang ampuh menggoda lidah. Dia berbalik. "Udah selesai. Satu hari lebih cepet dari yang dijadwalin. Jadi, ayo makan bareng. Aku laper." Ajakannya dilontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shy Shy Jwi ✔️
FanfictionPark Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong Chenle menerka bahwa Jisung sekedar remaja biasa yang kelebihan sifat pemalu. Tapi kian lama waktu bergulir, dia menemukan potongan-potonga...