Sejak tahu seberapa pahit skenario yang menimpanya atau seberapa keras tamparan fakta yang tak pernah berhenti menyadarkannya, Jisung tak lagi punya sebuah mimpi. Dokter, polisi, tentara, arsitek, pilot, penyanyi—tidak dengan semua itu. Tujuan hidupnya berubah. Tak lagi punya secuil tekad untuk meraih mimpinya.
Berapa kali harus ditegaskan bahwa hidup Park Jisung itu sesederhana kubus yang tak punya banyak sisi.
Bukan dokter, bukan aktor, bukan pula penyanyi yang punya banyak penggemar. Setiap detik mengelukan namanya, tidak Jisung tak lagi menginginkan semua itu. Kalau ditanya untuk apa dirinya hadir di dunia ini maka Jisung sekedar akan menjawab, menjadi manusia bermanfaat sehingga aku dihargai.
Jisung bukannya mengenyahkan segala mimpi yang sempat menggelayuti jiwanya, yang sempat memecut semangatnya. Bahkan untuk mendambakan lenyapnya mimpi itu pun Jisung tak pernah. Tapi tahu-tahu, yang sempat menghujaninya sampai bermandikan keringat, menjanjikan masa depan yang lebih baik—yang namanya mimpi itu—pupus dengan sendirinya. Seakan tak mau berpulang pada tuannya yang tak bisa dihargai orang.
Kepalanya menunduk. Tubuh semampainya tak lagi dibalut kemeja putih dan celana biru laut serta dilengkapi dasi kotak-kotak biru senada. Bukan lagi seragam Seiyeon yang menjadi saksi ukiran hidupnya. Tersingkirkan, kemeja yang seringnya ditimpa macam-macam noda itu kini digantikan kehadirannya dengan blazer maroon yang warnanya memikat. Sedikit mewah ketimbang yang sebelumnya.
Sekarang, pertanyaannya adalah, kali ini, dengan seragam yang ini, Jisung bisa melanjutkan skenarionya dengan kisah yang bagaimana?
Eksistensi Zhong Chenle, hadirnya ia, datangnya ia sebagai figuran baru dalam drama hidupnya bukanlah satu-satunya hal yang bisa mengubah segala tentangnya. Totalitas tanpa terlewat sedikitpun. Seumpama zamrud yang ratusan tahun terkubur, Chenle seajaib itu, semenawan itu. Kalau Jisung menggenggamnya, memanfaatkannya dengan baik, yang ia inginkan bisa terwujud dalam satu kedip mata.
Tapi yang dia butuhkan bukan harta apalagi tahta.
Coba tebak! Park Jisung hanya ingin dikirimi banyak orang. Mereka yang membutuhkannya, mereka yang menggelayutinya, mereka yang ada untuknya. Ini alot untuk diakui. Tersendat-sendat, Jisung dipaksa untuk jujur. Kenyataan bahwa seorang Zhong Chenle tak cukup untuk kelanjutan skenario hidupnya yang terjal.
Sekarang tertawalah. Manusia yang bahkan tak bisa bermanfaat, manusia yang hidupnya hanya bisa mengeluh, manusia yang tak bisa mengukir apapun, manusia ini malah kian serakah alih-alih tersadar.
Jisung mengakuinya. Tapi jujurlah, memangnya siapa yang bisa bertahan dengan satu teman sementara kamu selalu dihantui akan kesepian yang tak tahu sampai kapan akan berakhir? Katakanlah kalian akan menjawab, aku bisa, yang penting aku punya teman. Lalu tahu-tahu takdir ingin bermain-main, satu-satunya yang kamu sebut teman melarikan diri karena temannya yang baru, yang katanya lebih baik atau yang katanya lebih bisa mengerti dirinya. Kamu terpuruk, tersedu-sedu. Saat itu tiba, kemana kamu mengadu?
Angan-angan yang sempat singgah di benaknya; tentang kerumitan hidupnya sendiri, tentang dirinya, atau tentang masa depannya nanti, terburai menyisakan debu tak kasat mata ketika sesuatu menghancurkan. Bunyinya memekakkan telinga. Bus tumpangannya tiba dengan deritnya yang bukan main nyaringnya. Jisung melangkah. Tangannya lebih dulu menyentuh pintu bus, tapi seseorang menyerobot. Tergesa-gesa, dia mendului si Park yang telah membuang waktunya sampai belasan menit.
Dia laki-laki. Pemuda yang tingginya hampir menyambangi Jisung. Sesuatu yang mengejutkan mengambil alih atensi Park Jisung. Tubuh itu, tubuh di hadapannya itu sama-sama mengenakan seragam yang persis miliknya.
Tangannya merogoh-rogoh. Agaknya tengah terlarut menyusuri dasar kantung celananya sendiri. Mencari-cari. Kemudian ditarik keluar. Tapi hasilnya tak semestinya. Alih-alih recehan yang ia korek selama tadi, genggamannya malah diisi uang kertas yang mana nominalnya kelewat besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shy Shy Jwi ✔️
FanficPark Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong Chenle menerka bahwa Jisung sekedar remaja biasa yang kelebihan sifat pemalu. Tapi kian lama waktu bergulir, dia menemukan potongan-potonga...