Zhong Chenle punya daftar kegiatan dan pencapaian yang harus ia raih dalam hidupnya. Pada urutan teratas, dia menjanjikan kepada dirinya sendiri untuk tetap jangan menyerah. Kalaupun ombak besar menyambar tubuhnya, memaksanya untuk ikut menyelam ke dunianya, Chenle harus tetap kokoh. Kalaupun puting beliung menyeretnya, memberikannya sebuah pengalaman tentang bagaimana rasanya menjelma menjadi Superman untuk beberapa menit, Chenle harus tegas menolak. Dan kalaupun dadanya harus ditusuk oleh tombak runcing bernama kegagalan, dia harus tetap membuka matanya. Jangan lemah, jangan lumpuh, jangan takut.
Ada terlalu banyak kata 'jangan' dan 'harus' yang tersemat di setiap tujuan hidupnya. Jangan sampai buat orang tuaku nangis. Jangan sampai buat orang tuaku merasa gagal didik anaknya. Aku harus berhasil. Aku harus buat mereka bangga. Jangan jadi manusia nggak berguna. Aku harus bermanfaat.
Chenle pernah mengakui. Pada papanya kala itu, ketika keduanya menyelesaikan satu putaran lari pagi, Chenle berterus-terang. "Aku nggak terlalu baik buat mikirin orang lain lebih dari diriku sendiri, Pa."
Papanya tergelak. Membanggakan kejujuran sang anak yang tak pernah berhenti mengalir. Chenle hidup dengan lidahnya yang enggan mengucap secercah kebohongan terkecuali dia dipaksa oleh yang namanya kondisi. Singkatnya, kebohongan itu pintu keluar terakhir.
Dan untuk kasus kecewanya Park Jisung, satu alasan yang sama diluncurkan. Pintu itu, pintu yang ia pilih untuk jalan terakhirnya, menyesatkannya dengan tameng ketenangan yang fana.
Chenle tidak tahu siapa yang sepenuhnya bersalah atas hal ini; dirinya atau Jung Chae Eun. Gadis kasar itu benar-benar memutarbalikkan segalanya dalam satu kedipan mata. Dia datang, bagai badai di tengah hari. Dia merusak, menghancurkan, meluluh-lantakkan semuanya. Kemudian dia pergi, tanpa pamit tanpa maaf.
Sejatinya, Chenle bukan pengingat yang buruk. Kepingan memorinya terlalu banyak berserakan di dalam benaknya. Kapasitasnya terlalu luas dan orangnya yang terlalu teliti untuk mengupas semua yang ia inginkan. Jadi, ingatan itu pun sama jelasnya. Menit ketika Chae Eun menyergapnya dengan pecut kepanikan yang kemudian berujung pada keterpaksaan.
Kala itu, Zhong Chenle yang penuh dengan kabut keinginannya untuk membantu, keluar dari balik pintu ruang guru. Dia menyelinap keluar bersama secarik kertas. Bersama perasaannya yang ketar-ketir. Bersama kusutnya benak yang ia tanam sendiri. Bersama semua itu, matanya dikejutkan oleh seseorang lainnya.
Dia berdiri kokoh. Kedua tangannya ditahan ke belakang. Lalu, begitu Chenle keluar dari sana, dia menyapa lewat matanya yang berkilat penuh kebingungan. Kemudian, tangan kanannya diangkat. "Hai," dia menyapa. "Penguasa sekolah." Lalu senyum lebarnya menyusul.
Pada posisinya yang terancam, Chenle tak tertarik untuk memperluas hubungannya dengan seorang teman baru. Sekilas, Chae Eun nampak baik. Dia manis bila senyum itu melengkung. Tapi di detik yang sama pula, Chenle tahu pasti ada sesuatu di balik bentang senyumnya; bisa berarti keramahan atau yang lain.
Dan pada kasus ini, Jung Chae Eun bukan salah satu individu yang hobi mengumbar keramahannya.
"Paduka raja habis ngapain ke ruang guru?" Kepalanya melongok ke belakang selagi Chenle masih mengunci mulut. "Malem-malem gini?" Kemudian telunjuknya terangkat. Mengarah pada langit kelam yang sayangnya dinaungi atap.
Saat itu, Chenle belum mengenal siapa itu Jung Chae Eun. Apa penyebabnya tersenyum selebar itu dan apa yang sedang ia lakukan di tempat yang sama pula. Tapi setidaknya Chenle seorang pembaca yang baik. Gadis itu menegurnya. Gadis itu memergokinya. Lantas, apa kemungkinan terburuknya? Tentu saja mengancamnya membeberkan semua yang dia lihat—jika dia memang benar-benar anak badung.
Maka, Chenle melengos. Kakinya melangkah pergi. Berusaha tak peduli. Menganggap bahwa barusan netranya tidak menatap siapapun. Menganggap bahwa Chae Eun sekedar bayang-bayang tak kasat mata. Ayo main simpel. Anggap saja Chae Eun tak pernah ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shy Shy Jwi ✔️
FanficPark Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong Chenle menerka bahwa Jisung sekedar remaja biasa yang kelebihan sifat pemalu. Tapi kian lama waktu bergulir, dia menemukan potongan-potonga...