27. Secuil Arti Teman

138 24 2
                                    

Sebagai individu yang tidak menyukai kesendirian, Park Jisung nyaris mati kebosanan.

Jisung memang bukan seorang individu yang mana andal menggaet teman layaknya Zhong Chenle. Tangannya abot untuk diayunkan. Senyumnya alot untuk dilukis manis. Mulutnya kecut untuk sekedar mengudarakan sapaan. Singkatnya, Park Jisung bukan seorang social butterfly yang mana digemari banyak orang. Tapi itu tidak menutup kemungkinan kalau sosoknya juga pandai beradaptasi walau masih kalah dari kemampuan adaptasi Chenle.

Kepalanya menoleh. Jarum jam di atas kasir sudah menginjak angka 7. Bersama dengan nafasnya yang ditarik panjang, Jisung melengos. Americano-nya nyaris ditandas habis. Sisa seperempat gelas dan Chenle adalah satu-satunya alasan.

Si konglomerat itu, mungkinkah dia mendadak punya setumpuk pekerjaan yang sulit diselesaikan seorang diri? Seperti menyedekahkan hartanya untuk orang-orang yang selalu memadati jalanan atau sibuk bertamu ke satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menanam banyak saham, misalnya?

Jisung tidak tahu tapi Chenle sebentar lagi benar-benar terlambat. Tega membiarkannya teronggok selama 45 menit.

Jisung melirik. Ponselnya masih gelap, mati tanpa ada niatan untuk menyala meski satu detik lamanya. Kontak Chenle belum muncul di sana. Tidak ada balasan untuk gertakannya lewat pesan atau sebuah panggilan.

Pipinya menggembung. Ini terlalu lama, Jisung benci dianggurkan. Tapi seolah menjawab pertanyaan Jisung, gemerincing bel di atas pintu masuk menyita atensi. Seseorang muncul dari balik pintu kaca. Jaket Gucci itu terlalu mencolok untuk diabaikan. Maka, Jisung mengamati lamat-lamat. Oh, itu dia si raja terhormat yang dinanti-nanti.

"Terlambat 45 menit." Jisung mengingatkan. Rasa dongkol itu diungkapkan terang-terangan.

Chenle menarik kursinya. Tas ransel yang mana desainnya simpel namun Jisung yakini harganya nyaris melampaui ponsel keluaran terbaru itu dibanting ke atas meja. Tangan kanannya mengusir tudung jaket yang sedari tadi menaungi kepalanya. Dia mengeluh.

"Capek banget."

"Habis ngapain? Nggak biasanya kamu kayak gini." Jisung menerka. Memangnya apa yang disebut lelah bila yang dilakukan sekedar terduduk menopang dagu di dalam Tesla mewah?

Chenle meraih tasnya. Resleting itu dibuka. Tangannya menangkap lembaran-lembaran kertas yang mulanya tersimpan di dalam sana. "Mencoba buat merakyat." Katanya setengah ngawur.

Kalah menariknya dari setumpuk kertas yang hadir karena Chenle, Jisung mengabaikan jawaban tidak memuaskan dari lawan bicaranya. Kepalanya menunduk. Penasarannya mulai meronta-ronta untuk mencari-tahu kertas macam apa yang ada di depan obsidiannya.

"Ini soal tahun kemarin juga?"

Chenle menggeleng. "Dari internet. Aku habis cetak itu di warnet. Nggak tahu itu akurat atau nggak sama soalnya nanti, tapi yang aku tahu jenis soalnya semacam itu. Seenggaknya kita bisa latihan lewat itu." Dagunya dikedikkan.

"Kamu habis dari warnet? Kenapa nggak bilang? Aku bisa bantu kamu daripada nganggur kayak arca patung di sini." Dia mencecar. Mengutarakan ketidakterimaan yang tebal menyelimuti.

"Nggak keburu. Mepet." Tubuhnya menegak. Tangan-tangan itu kembali membebaskan alat tulisnya dari dalam tas. Satu per satu ditata tak beraturan di atas meja. "Kamu boleh mulai dulu, aku mau minum. Dehidrasi. Ternyata merakyat susah juga." Keluhannya masih bersambung.

Bunyi gesekan antara beling yang beradu keras bersama kayu menyahut kemudian. Rupanya Jisung yang tengah mendorong gelasnya untuk si kawan. "Kamu boleh habisin punyaku kalau hausnya udah nggak nahan."

"Tenang aja, Jwi. Aku orangnya penyabar."

Jisung tak lagi menanggapi. Kepalanya kembali menunduk ketika Chenle mengangkat tangannya sebagai interupsi. Pelayan kafe-nya mendekat. Dengan ramah, pertanyaannya untuk melayani diluncurkan. Chenle berterus-terang. Dia mau frappuccino sebelum akhirnya si pelayan pamit undur diri dengan menjanjikan bahwa pesanannya segera diantar dalam kurun waktu dekat.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang