40. Kisah Anyar

332 29 7
                                    

Wayne Dyer pernah berkata, apa yang kita pikirkan menentukan apa yang akan terjadi pada kita. Jadi jika kita ingin mengubah hidup kita, kita perlu sedikit mengubah pikiran kita.

Ada banyak peluang bagi Chenle untuk menyulap dirinya menjadi seorang pengecut laksana keong malang yang nelangsa dilindas kaki-kaki besar banyak kali. Dunia enggan berpihak padanya bahkan sekedar untuk melindungi dirinya sendiri. Jadi, dia kehilangan asa hidupnya. Dia sendirian, meniti kenestapaan dengan mematut diri di dalam rumah mungil yang selalu dibawa menuju kematian sekalipun.

Agaknya pengecut patut dideklarasikan sebagai kata menjijikkan kedua setelah penghianat versi Zhong Chenle. Bukannya Chenle tidak punya rasa takut. Menyempil beberapa ruang di dalam benaknya, Chenle tidak takut pada semacam monster khayalan atau para zombie yang bila datang bergerombol, nampak mengerikan dengan urat-uratnya yang menonjol.

Dia tidak memiliki rupa. Dia tidak bisa dipandang, apalagi disentuh kehadirannya. Dia ada tapi kadang terasa tiada sebab manusia mengacuhkan eksistensinya. Namanya pikiran. Bisa menjurus pada sesuatu yang baik atau sebaliknya. Tapi pada kasus ini, Chenle takut pada asumsi buruk yang mulai menggerogoti. Perumpamaan yang seharusnya tidak lahir itu, nyatanya ada karena pikiran.

Bersembunyi itu memang mudah. Terasa menyenangkan bila orang-orang kelimpungan mencarimu. Tapi Chenle tidak ingin. Kalau dia lahir sekedar untuk memamerkan seberapa hebat dia menyembunyikan diri, kenapa sejak dulu dia tidak terus tinggal pada janin ibunya? Itu lebih sempurna.

Rasanya dunia terbalik.

Kala tungkai-tungkainya terayun, Chenle menelisik. Dia kehilangan penghormatan. Dia kehilangan keramah-tamahan orang-orang yang tak pernah berhenti memujanya. Dia mengalami kehancuran reputasi. Bahkan untuk citra baik, Chenle mungkin hanya bisa memamerkan pundi-pundinya yang masih tersisa.

Bukannya tidak peduli. Chenle cenderung tidak mempermasalahkan. Tidak perlu repot-repot menolong warga sekolah hanya untuk membangun kembali reputasi baiknya. Hanya untuk membuat mereka bertekuk lutut lagi. Hanya untuk memujanya lagi. Hanya semua ini—yang tengah ia dapat—lebih dari segalanya.

Siapa yang bilang kehilangan itu berarti pada kesenduan yang mencekik sampai rasanya gila setengah mati?

Untuk beberapa persoalan, Chenle menentang. Sama halnya dengan hidup, yang namanya kehilangan bisa disulap menjadi keindahan bila kamu tahu rumus mana yang tepat untuk digunakan.

Beberapa dari mereka masih belum mau berhenti melempar sinis. Beberapa sisanya lagi acuh tak acuh. Menganggap bahwa cucu si pemilik sekolah tidak lagi patut diagung-agungkan.

Mulanya, Chenle menerka. Bagus deh kalau mereka nggak anggep aku ada, nggak perlu aku susah-susah nolong mereka cuma kalau mereka butuh doang. Tapi rupanya, manusia tak akan pernah bisa menerawang apalagi sekedar mengira-ngira.

Terlalu tiba-tiba, Chenle ditarik paksa. Kerahnya dijumput kasar lantas diseret bagai tambang enteng. Seseorang membawanya atau malah sengaja menyembunyikannya pada tempat kosong yang sepi orang. Tempat barang-barang rongsokan berpulang. Kursi-kursi lapuk yang disantap rayap berkolaborasi dengan tong-tong besi yang mulai dihinggapi karat menjadi kombinasi sempurna untuk mencegah orang datang bertamu.

"Jangan semena-mena dong! Dia kan cucu pemilik sekolah, nanti kamu bisa dicincang loh!"

Seseorang tergelak selepas debum kecil mengudara. Yang paling kerempeng—bocah yang baru bersua—menendang kawannya. Membuat si korban tersungkur lantas melepaskan Chenle.

"Halo, paduka raja." Masih si kerempeng, dia membungkuk. Mengolok-olok Chenle begitu kepalanya terangkat. "Eh, baru sadar," Punggungnya menegak. "Kamu udah lengser jadi paduka raja. Sekarang turun jabatan. Jadi apa ya?" Sudut bibirnya terangkat. Merendahkan si Zhong yang masih dililit tali keterkejutannya.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang