15. Kaum Kesengsaraan

188 37 4
                                    

Namanya keputusasaan. Sebuah makhluk jahat yang hadirnya setelah kamu dikecewakan oleh dunia. Mulanya sekedar penyesalan. Tapi lama-lama merambat. Kamu mulai merasa bersalah. Duduk meringkuk sendu diserang kata-kata yang mengundang marabahaya untuk dirimu sendiri; bego! Nggak berguna kamu! Masa kayak gitu aja nggak bisa?! Nyesel kan kamu udah gagal begini?! Terus kamu bisa apa, hah?!

Batinmu dikuasai pertikaian antara ego dan segudang rasa sesal yang makin menggumpal. Kemudian, kamu mulai menangis. Tersedu-sedu seakan itu adalah garis akhir hidupmu. Seakan sudah tidak ada lagi cerita yang siap ditorehkan di skenariomu. Lantas, apa yang kamu lakukan? Kamu putus asa. Kakimu berlari mencari pelampiasan. Ketika netramu disapa jembatan gantung yang mana menaungi lalu-lalang kendaraan di bawahnya, setan mulai tertarik menggodamu. Dia berbisik mendayu, putus asa ya? Katanya capek jalanin hidup yang berat terus? Coba deh naik ke batas itu, tutup matamu, dan rasain semua bebanmu terangkat. Kamu melayang, ringan. Begitu mendarat, kamu nggak akan lagi dipaksa buat jalanin hidup menyiksa. Tertarik mencoba?

Dari sana, berita-berita bunuh diri yang mengerikan hadir melengkapi bagian rumpang cerita dunia ini dengan ukiran duka yang mendalam.

Jisung melihatnya. Jisung menangkap seberapa dalamnya lubang keputusasaan yang telah melalap jiwa Hoseung separuhnya. Dia putus asa, nyaris tertarik akan janji manis bodoh dari bisikan setan beberapa menit lalu. Ketika dia bertingkah semacam orang yang kehilangan kewarasannya—meminta Jisung untuk mendorongnya jatuh—Jisung melengos.

"Kamu mau mati? Yakin?" Jisung mengambil langkah 2 meter menjauh. Mengenyahkan Hoseung dengan pintanya yang konyol. Lebih memilih memanjakan mata dengan indahnya langit yang dipamerkan Tuhan untuk insan-Nya.

Hoseung terkekeh. "Kamu ngeremehin aku? Kamu pikir aku takut buat mati? Setelah semua yang aku dapet di dunia ini, apa aku harus punya rasa takut buat mati?" Tak menyahuti dengan jawaban, Hoseung malah mencecar Jisung.

"Emangnya apa yang udah kamu lakuin di dunia ini? Jangan tersinggung. Tapi kata orang-orang di sekolah ini, kamu itu biang kerok yang hobi buat kerusuhan." Jisung berhasil menumbuhkan sepercik rasa bersalah untuk lawan bicaranya.

Hoseung berusaha untuk tetap pada pembawaannya yang sok tenang. "Wah, aku pikir kamu orangnya pemalu. Orang-orang bilang kayak gitu, ternyata aslinya liar ya. Omonganmu sama sekali nggak terduga." Pada akhir ujarannya, tatapan itu menajam.

"Itu nggak penting." Jisung menoleh. Menepis secuil topik baru yang diungkit Hoseung. "Katanya kamu mau jadi atlet sampai cekik leherku. Katanya aku udah hancurin mimpimu. Setelah semua itu, kamu cuma mau pergi gitu aja tanpa mau buat pembuktian? Kamu pikir kamu manusia sebaik apa? Udah berhasil banggain orang tuamu belum? Kamu mau ninggalin mereka buat siksaanmu di neraka?"

Hoseung membeku. Tangan kanannya pelan-pelan terkepal sempurna. Berusaha menelan semua rasa bersalahnya yang kian membumbung. Dingin, dia menyahut tajam. "Kamu nggak tahu apapun tentang aku dan hidupku. Jangan sok tahu. Tetap sama peranmu yang malu-malu itu. Aku lebih suka kamu kayak gitu."

Jisung menggeleng kecil. "Tapi aku bukan Park Jisung yang dulu." Dia berani menegaskan walau kabut keraguan sempat menyembunyikannya. "Kalau aku dilawan, aku harus melawan. Kalau aku dibuat bahagia, aku harus bales buat dia bahagia. Kalau aku menyesal, aku harus bisa buat sesal itu pergi."

Sudut bibir atas milik Hoseung berkedut. "Siapa yang ngajarin kamu teori nggak berguna itu?"

"Chenle." Jisung menjawab lugas. "Tanpa teori nggak berguna itu, kamu nggak akan bisa menang lawan dunia. Bahkan udah kejadian sama dirimu sendiri sekarang."

Hoseung mengenyahkan pandangannya. Nafas beratnya dihembuskan. Pipinya menggembung ketika melakukan itu, membuat ujung rambutnya diterpa angin sekilas. Kedua tangannya singgah bertengger di pinggangnya—gestur seseorang yang agaknya nampak tengah mengatasi kesabarannya yang menipis. "Denger Jisung. Jangan sok pinter ceramah seakan kamu orang yang paling berpengalaman di dunia ini. Sekarang, coba jawab pertanyaanku." Hoseung menyambangi tatapan Jisung. "Emangnya kamu nggak pernah kayak aku? Nggak pernah kepikiran buat bunuh diri?"

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang