38. Let The World Feel

153 26 4
                                    

Sudah waktunya untuk menamatkan Zhong Chenle si pengecut.

Tutup lembaran-lembaran kemarin. Lupakan segalanya. Akui kesalahannya dan hapuskan semua itu. Segalanya semakin mendesak dan dia tidak mungkin terus menduduki tahtanya laksana seorang raja yang tak tahu penderitaan rakyatnya.

Park Jisung terlalu hebat untuk mengacaukan semuanya. Entah ia yang tiba-tiba menggaet Jehoon sebagai kawannya atau fakta ironis tentang kebaikannya. Sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, katanya. Tapi kenyataannya itu semua terus terulang dalam versi memilukannya masing-masing.

Ketika matahari mulai naik ke permukaan, menyembul di ufuk timur, menabur kebahagiaan, menghias dunia dengan semburat cantiknya, ketika itu pula harapan Chenle kembali tumbuh. Jisung harus ada di sekolah. Dia harus berangkat.

Rasanya hampir gila saat rasa bersalah itu terus berkembang. Kian besar, kian liar melalap kewarasannya. Berkolaborasi dengan kekhawatiran yang luar biasa, Chenle nyaris menelan sendok akibat kacaunya benak. Diamnya Jisung atau hilangnya ia, cukup ampuh memupuk rasa bersalahnya. Pesannya diabaikan bak satu dua ekor lalat yang kehadirannya cuma andal mengganggu. Jisung bagai ditelan bumi. Lenyap entah kemana.

Tapi takdir selalu ingin menyangkal. Andai rupa takdir semacam para politikus yang kerjaannya meraup uang rakyat, Chenle mungkin tergiur untuk mengajaknya bekerja sama lewat segepok uang meski ia tahu itu perbuatan tidak terpuji. Sayangnya, semua ini rasanya timpang. Tidak adil untuknya apalagi bagi Park Jisung.

Kekosongan menyambut. Jisung tidak ada pada tempatnya. Bangku kosong dengan penghuni yang berbeda. Chenle enggan mengakui ini tapi sialnya, kemampuan bersembunyi Jisung patut diacungi jempol.

Tak sanggup menanti-nanti pada tempatnya, Chenle bangkit. Punggungnya bersandar. Dindingnya menyanggah, menyongsongnya dengan rasa sejuk yang kemudian menyebar. Chenle masih belum ingin berputus asa, tapi ketika sosok yang dicari-cari belum juga nampak, dia mulai goyah.

Beberapa orang melintas. Mereka sibuk mendendangkan cuap-cuap yang macam-macam topiknya. Chenle tak tergiur untuk mencuri dengar. Kepalanya terus melongok. Ke sana, ke ujung koridor yang membawa arus anak-anak baru berdatangan. Berusaha menjumpai presensi Jisung yang barangkali tenggelam di luasnya lautan murid-murid.

Tetap saja, tidak ada.

Desas-desusnya kian merebak, memenuhi rungu. Mereka semakin liar dengan ucapannya masing-masing. Awalnya berupa bisikan, seolah mereka tak mau perbincangan rahasia itu dicuri dengar. Tapi, kian lama waktu mengikis, mereka tak lagi peduli pada volume suara. Keras-keras, lantang-lantang sampai Chenle merasa tengah berada pada kericuhan kota yang tidak gampang disenyapkan.

"Kasihan banget ya Jisung. Selama ini nggak ada satu pun orang yang tahu."

Kalimat itu menarik Chenle pada keterkejutannya. Dia ditelan gelombang yang entah apa namanya. Sebab semuanya berada pada satu titik; keterkejutan, kekhawatiran, kepenasaran. Siap menyiksanya dengan pecut rasa bersalah yang pedih diterima.

Tak bisa menerka apa-apa, mulanya Chenle tergiur untuk menanyakan yang sebenarnya terjadi. Memupuskan kepenasarannya lantas memutar otak, apa yang sekiranya bisa ia lakukan untuk Jisung.

Tapi dengung ponselnya menghancurkan niat. Kasak-kusuk, Chenle merogoh celananya. Ponselnya menyala terang. Dia menghitung. Satu, dua, tiga, empat—lima belas? Kenapa tiba-tiba begitu banyak berita yang ia acuhkan?

Sesuatu yang Chenle duga sebagai curahan kisah terkubur, ditulis dalam untaian kalimat terpanjang dan diunggah oleh dia, si tuan tanpa nama, menyedot seluruh atensi yang ia punya.

Halo, apa kabar? Ada beberapa hal yang mau aku ceritain. Aku nggak peduli ini ilegal atau nggak, tapi ada sedikit cerita tentang Park Jisung, aku yakin kalian pasti penasaran.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang