18. Awal Dan Akhir

165 33 5
                                    

Belakangan ini, ada sebuah tempat sederhana yang disukai Chenle. Bukan istana bergelar permadani mewah, bukan museum yang menyimpan banyak karya memukau torehan seniman dunia, bukan pula salah satu keajaiban dunia yang mencengangkan. Letaknya di sebuah ujung jalan. Gerbangnya setinggi orang dewasa, isinya dipenuhi kain-kain yang dicampakkan tidak pada tempatnya atau segala sesuatu yang nyaris gagal tertata rapi. Pemiliknya seorang diri. Itu rumah Park Jisung yang mana brankas makanannya hanya terisi bungkusan ramyeon.

Kakinya melangkah masuk ketika senja mulai menyingkirkan sinar mentarinya yang enggan meneduhkan suhu. Pertama, lehernya melongok ke dalam. Kedua, tungkainya masuk lebih dalam tanpa permisi. Ketiga, netranya berhasil menjumpai si tuan rumah yang nampak rumit berperang dengan kompornya.

"Jangan!" Chenle memekik.

Nyaris melompat dari tempatnya, jantung Jisung tak terkontrol setelah tubuhnya melonjak kaget. "Ya ampun Chenle! Kenapa kamu bisa masuk ke rumahku tiba-tiba kayak gitu?" Matanya melotot. Salah satu refleks akibat pekikan si sobat.

"Aku kan otak emas. Aku ingat sandi rumahmu." Tak tergiur mengudarakan kata maaf, tubuhnya merebah. Kakinya ditekuk, menyilang di atas lantai selagi kepalanya melongok ke sembarang arah. "Orang tuamu nggak ada di rumah lagi?"

"Mereka belum pulang, Chenle." Jisung menyahuti setengah jengah. "Sebenernya yang temenmu itu siapa? Aku atau orang tuaku?"

"Aku penasaran, mau kenalan." Tubuhnya beringsut mendekat. "Emangnya mereka pulang jam berapa? Apa aku harus nginep di sini buat ketemu orang tuamu?"

Jisung melengos. Kehilangan minat untuk menanggapi lebih jauh lagi. Dagunya dikedikkan. "Kamu bawa apa?"

Sumringah, sebentang senyum lebar itu hadir secara cuma-cuma. "Oh ini. Ayam, voila!" Tangan kanannya menjinjing bungkusan. "Aku ini udah kayak malaikat penyelamatmu ya? Untung aku dateng tepat waktu bawa ini sebelum rumahmu kebakaran."

Jisung mengenyahkan kompornya. Tungkainya terayun mendekat. Lututnya ditekuk, sebelum tubuhnya yang kelebihan kalsium itu duduk bersisian dengan si China.

Kantong dibuka. 2 kotak ayam ditarik keluar dari dalam sana. Gesekannya menyapa rungu berakhir dengan ketukan kecil yang timbul akibat beradunya lantai dan si kemasan. Chenle menarik satu, men-cap sekotak ayam yang diputuskan menjadi kepunyaannya. "Makan, itu jatahmu." Dagunya mengedik, mengklaim satu kotak yang tersisa untuk dijatuhi sebagai hak Jisung sepenuhnya.

"Makasih." Ketika penghuni-penghuni perutnya mulai liar layaknya pendemo massal, Jisung lebih dulu menyumbatnya. Mereka diam, si empu tak membiarkan perutnya menciptakan bunyi konyol yang ampuh membuat rasa malunya bergejolak tinggi sebab kelaparan. Mulutnya dibuka. Satu gigitan, satu kunyahan, sebelum berakhir mendarat di lambungnya. "Kamu sengaja beli ini?" Matanya mengerling.

Chenle menganggukki. "Iya. Kamu pikir aku tipe orang kaya yang suka foya-foya? Aku nggak akan beli sesuatu kalau nggak berguna." Nadanya datar. Tak menyombong walau kalimatnya ampuh membuat si pendengar terjerumus masuk ke dalam pemahaman yang salah. "Aku mau bilang sesuatu. Jisung, kalau ada seseorang yang tiba-tiba kirim pesan maaf ke kamu, kabarin aku ya."

Hilang separuh nafsu makannya, Jisung kalah dilahap penasarannya. "Seseorang? Pesan apa? Kenapa dia harus minta maaf ke aku?" Alisnya menukik.

"Kamu orang baik. Pasti banyak yang iri. Orang-orang itu, pantes minta maaf ke kamu. Buat semuanya, buat apa yang pernah kamu dapat dalam konteks perbuatan yang nggak pantes. Orang itu harus dan harus minta maaf. Itu wajib." Penegasannya menimpa pada sebuah keharusan yang mutlak.

Mencampakkan ayam pertamanya, Jisung menyangga tubuhnya. Dia memandang si sobat yang masih nampak menggiurkan sebab cara makannya yang menggoda. "Kalau nggak ada pesan apapun?"

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang