Untuk orang semacam Jisung; yang pemalu, yang pendiam, yang kesepian, yang sering kesulitan—dan garis besarnya—yang paling nelangsa, sejatinya tidak punya banyak pinta untuk mewujudkan arti kebahagiaan menurut dirinya.
Bukannya tidak realistis, tapi Jisung menyatakan bahwa harta bukan satu-satunya hal yang bisa membuat hatinya melambung. Tidak, itu terlalu tinggi untuk ia gapai. Maka, Jisung memulainya dari titik yang paling dasar. Dimana yang namanya kebahagiaan bisa tumbuh lewat sejumput perbuatan baik.
Jisung menolong orang.
Dia berhasil. Di medan perangnya yang pertama, dia berhasil mengalahkan musuh. Rasa bangganya membumbung. Walau secuil kekhawatiran sempat berkelibat membawa beberapa pertanyaan; bagaimana kalau seandainya Deonghwa sama-sama seperti Jeonghyun? Bagaimana kalau si muka antagonis malah beralih menjadikannya mangsa? Jisung sempat dibuat ketakutan akibat pertanyaannya sendiri yang entah kapan bisa ia temukan jawabannya. Tapi siapa peduli? Kupu-kupunya yang sekarang nyaman singgah di dalam perutnya, membawa getaran asing dan sesuatu yang menyenangkan itu berhasil mengalahkan kabut ketakutannya.
Ketika bibir itu diangkat ke atas, Jisung merasa dirinya tengah dinobatkan sebagai manusia paling bahagia di dunia. Kemudian ketika Deonghwa menggemakan satu kata yang terus terngiang—terima kasih—Jisung masih penuh dengan gurat kebahagiaan.
Ah, senangnya jadi orang baik.
Semuanya terasa lebih dari baik-baik saja. Dunia yang ia pijak saat ini—ketika kepalanya menunduk—bukan tanah yang didapati netranya. Itu hampir menyerupai lantai yang mana mengkilap bagai berlian kepunyaan ratu Inggris. Langitnya ketika ia tatap, hamparan biru itu jadi lebih menarik menyapa matanya. Atau ketika tenggorokannya dialiri air soda yang menyegarkan, rasanya lebih sejuk ketimbang soju. Langkahnya yang pernah seberat timbunan semen itu disulap menjadi seringan kertas.
"Otakmu masih lengkap kan? Nggak keropos?"
Bahkan ketika bariton itu menyapa rungunya, Jisung seakan tengah didendangkan musik klasik yang memabukkan. Padahal muaranya cuma seorang Zhong Chenle yang derap langkahnya saling menggema di sisi kirinya.
"Kayaknya hari ini kamu lagi seneng banget? Kenapa? Menang undian?"
Jisung menoleh. "Nggak." Kepalanya digelengkan. "Chenle, makasih udah mau kasih tips."
Seakan berhasil menjumpai potongan puzzle yang bertebaran dimana-mana, Chenle mengangguki. "Karena itu ternyata? Kemarin kamu bantu orang? Udah memenuhi kriteria jadi orang baik menurut dirimu sendiri?" Chenle menelisik. Lantas ketika si lawan bicara mengulas senyum tipisnya, dia melanjutkan. "Padahal kamu tuh emang udah baik, Jwi."
Jwi. Park Jisung belum pernah dipanggil seperti itu sebelumnya. Paling-paling Park atau yang terparah si idiot. Kemarin, Jisung sempat melontarkan satu pertanyaan.
"Jwi? Kenapa kamu panggil aku kayak gitu?" Dia bukannya sedang mengajukan protes ketidakterimaan lewat ponsel. Dia sekedar dibuat bertanya-tanya karena si konglomerat.
Kemudian nan jauh di sana, Chenle menyahuti. "Itu panggilan spesial antara sahabat. Hei, kamu juga harus kasih panggilan kayak gitu ke aku." Chenle setengah menuntut.
"Oh iya? Dulu Yangyang panggil kamu apa?"
"Kembarannya Stephen Curry."
"Berat buat aku." Waktu itu Jisung berkelakar kecil. Lantas di detik yang sama, satu helaan nafas berat mengudara di seberang sana. "Kalau gitu aku panggil Lele."
"Nggak mau." Kelewat tegas, Chenle menolak mentah-mentah. "Kalau gitu kamu nggak usah panggil namaku sekalian. Jelek, aku nggak suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shy Shy Jwi ✔️
ФанфикPark Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong Chenle menerka bahwa Jisung sekedar remaja biasa yang kelebihan sifat pemalu. Tapi kian lama waktu bergulir, dia menemukan potongan-potonga...