25. Peringkusan Pukul 4 Pagi

132 25 5
                                    

Dulu, sewaktu hunian yang sekarang mirip kapal pecah ini dibangun, Jisung tak pernah mengira-ngira ruang macam apa yang ia butuhkan bila seandainya datang segerombol zombi yang siap mencabik-cabiknya atau semua puing-puing bangunannya habis dilalap lidah sang jago merah. Bahkan ketika orang tuanya dengan lembut menanyai dirinya,

"Jisung. Kamu mau punya ruangan sendiri selain kamar? Ruang belajar terpisah, mungkin? Atau buat healing kadang-kadang? Kalau kamu mau, kita bisa bikin itu juga."

Tapi Jisung menggeleng. Suaranya yang masih imut mendayu-dayu dalam lantunannya yang teramat pelan menjadi jawaban untuk tawaran sang Mama. "Nggak perlu, Ma. Cukup kamar."

Mamanya tidak memaksa. Dari dulu, Park Jisung selalu hidup dengan apa yang dia butuhkan, tidak lebih dari itu. Bukannya tidak normal, namun Jisung kecil lebih punya banyak rasa pengertian untuk skenario hidupnya. Dia tumbuh dengan bibit keegoisan yang langka. Gampangnya, anak yang tingginya sekarang nyaris 2 meter itu dewasa lebih cepat ketimbang anak-anak seumurannya.

Sayangnya, sedikit rasa sesal yang mengganjal menghujam walau sepelan tinjuan seorang bayi. Seandainya saat itu, kala sang Mama menawarinya untuk menyelipkan sebuah ruang lain, Jisung bisa menempatinya. Berlabuh, menjadikannya sarang untuk dirinya sendiri, penjara yang melindungi dari kejamnya dunia bertindak.

Karena, coba lihat sekarang? Bagai bocah cilik yang takut dimarahi papanya, Jisung meringkuk di pojok kamarnya. Tepat di samping tempat tidurnya, kepalanya menunduk. Bersembunyi dari monster mengerikan yang bermula dari seorang korban.

Krak! Krak! Krak!

Suaranya bagai musik kematian. Jisung terjebak dalam ketakutannya. Di bawah nakas, dia menggenggam keras satu-satunya harta yang tak bisa dilepas. Dari seberang sana, Chenle tak lagi membawa suara selirih apapun. Yang menyapa rungu sekedar nyaringnya klakson beberapa kali.

Kepalanya menoleh. Depan, belakang, kanan, kiri, tapi sialnya masih tidak ada celah. Jendela sekecil apapun itu, Jisung tak punya. Dia benar-benar terkurung. Di sini, di satu atap yang sama dengan laki-laki sinting di luar sana.

Tenang Jisung, kamu harus tenang.

Kalimat itu diulang berjuta-juta banyaknya meski yang mendendangkan dalam diam pun sudah dibuat muak. Terapi itu gagal menghadirkan ketenangan. Benaknya masih tersesat tanpa mau berusaha kabur untuk menemukan jalan keluar.

Ini kamar. Seharusnya aman terlebih si daun pintu sudah lebih dulu dikunci rapat-rapat. Tapi marabahaya di luar sana lebih mendesak ketimbang pemikiran konyol itu. Kamu pikir, mana yang akan menang antara pintu kayu yang mudah lapuk dimakan rayap melawan manusia berakal bersenjatakan linggis tajam?

Jisung menunduk. Bukan cuma Chenle yang harus tahu. Sebanyak mungkin dia harus mengundang orang-orang untuk mengusir jauh ancaman monster itu. Satu orang berikutnya ia kirimi pesan walau tidak dalam bahasa yang mudah dimengerti—sebab banyak salah huruf yang tersemat dalam kalimatnya. Bukan masalah besar. Kim Doyoung cerdas. Mendeteksi rentetan huruf yang tak wajar seharusnya sudah cukup memberinya sinyal bahwa si adik sepupu tengah dikepung ketegangan.

Jemari itu terus membawa getaran kecil. Jisung ketakutan setengah mati. Sekalipun Deonghwa belum muncul di depan mata kepalanya, tapi kamar ini pelan-pelan ikut mencekiknya.

"Jisung? Jisung, kamu nggak apa-apa?"

Suara Chenle timbul dalam malam yang mengerikan. Bibir itu masih dikunci rapat-rapat. Jisung mengecilkan volume ponselnya. Tidak, jangan sampai ada jejak sekecil apapun atau si predator di luar sana sigap memangsa.

"Jisung? Jangan bikin aku tambah panik!" Disergap takut yang tak kalah besarnya, Chenle menyentak.

"S-suaranya h-hilang." Mulutnya mencicit kecil. Melahirkan sebuah kelegaan lewat persepsi singkatnya. Ini pasti pertanda baik. Dongkrakan pintu yang semula menggetarkan jantung, lenyap tanpa bekas. Itu bisa berarti Deonghwa memutar langkahnya sebab merasa putus asa mencongkel pintunya, bukan?

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang