Bogo shipo ✅

2.5K 282 3
                                        

Lampu biru samar memantul di permukaan meja logam. Jisoo menunduk, jemarinya cekatan mengotak-atik sebuah chip kecil di hadapannya. Ia bekerja dengan teliti, hampir tanpa berkedip, seperti seorang ilmuwan yang tengah merakit masa depan.

Beberapa menit kemudian, chip itu ia pasang ke dalam mesin. Komputer di hadapannya menyala, mengeluarkan cahaya biru yang perlahan membentuk pola holografik yang kompleks. Cahaya itu menari-nari di udara, seolah hidup.

Jisoo menyunggingkan senyuman tipis. "Lumayan," gumamnya.

Ia segera merapikan peralatannya. Matanya sekilas melirik jam digital di dinding-pukul sebelas malam. Kantor sudah lengang, sebagian besar lampu telah mati.

"Ayshh... aku melewatkan makan malam," keluhnya pelan, menyadari betapa waktu berlalu begitu cepat.

Dengan langkah ringan tapi terburu, ia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan ruang laboratorium. Kantor Kim Tech kini seperti labirin sunyi yang hanya ditemani suara langkahnya sendiri. Bayangan panjang mengiringi tiap gerakannya saat ia melintasi lorong gelap.

Tiba-tiba, bulu kuduknya meremang.

"Iihhh... kenapa mendadak dingin?" gumamnya sembari merapatkan jas. Langkahnya menjadi lebih cepat.

Namun ia terhenti saat melihat sebuah ruangan yang masih terang-ruangan milik saudari tirinya. Pintu terbuka sedikit. Jisoo masuk pelan, dan di sana, di depan komputer canggih yang masih menyala, Jennie tertidur pulas.

Jisoo menghela napas kasar. Ia mendekat, menatap wajah saudari tirinya yang terlihat lelah.

"Aku benar-benar tidak mengerti alasan sebenarnya kau ingin aku menyembuhkannya, Appa," bisiknya, sebelum menoleh pada layar komputer Jennie yang penuh dengan data belum tersimpan.

Dengan cekatan ia menyimpan semua file penting, lalu menepuk bahu Jennie dengan lembut.

"J... Jennie... ayo kita pulang. Ini sudah larut malam," panggilnya. Tapi Jennie hanya menggeliat sebentar, lalu kembali tenggelam dalam tidurnya.

"Yak! Dasar kebo juga nih anak," keluh Jisoo. Ia pun merangkul tubuh Jennie yang tercium aroma alkohol menyengat.

"Bau wine... pantas saja tidak sadar-sadar," omelnya pelan saat melihat dua botol kosong di meja.

Akhirnya, Jisoo membawa Jennie keluar menuju mobilnya. Malam semakin dingin, dan kesunyian menyelimuti kota.

-------------------

Sisi lain kota, larut malam

Asap putih mengepul dari balkon sebuah apartemen mewah. Lisa terduduk di balik kaca besar yang terbuka, menatap kota dengan pandangan kosong. Rokok di jarinya menyala samar, simbol dari kekacauan yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.

"Sial... mengganggu pemandangan saja," umpatnya ketika melihat sosok Chaeyoung melangkah ke balkon sebelah. Balkon kamar mereka memang terhubung, karena kamar keduanya saling bersebelahan.

Lisa hendak menutup tirai, namun terhenti ketika mendengar suara lembut Chaeyoung yang entah kenapa terdengar begitu menenangkan di malam seperti ini.


Seketika, setetes air mata jatuh dari pelupuk Lisa. Ia terkejut.

"K... kenapa aku menangis? Bodoh!" umpatnya, buru-buru mengusap wajahnya dan menutup tirai dengan keras.

Chaeyoung tersentak mendengar suara itu.

"Ah... mianhae, Lisa-ya. Kalau suara ku mengganggu... aku akan masuk," ucap Chaeyoung pelan, sebelum melangkah kembali ke dalam kamarnya.

Sementara itu, Lisa meringkuk dalam selimut. Ia memeluk erat sebuah bingkai foto. Di dalamnya, seorang wanita dengan senyum hangat-ibunya.

"Eomma... bogo shipo..." bisiknya sambil terisak.

Keesokan paginya - Hari Libur

Pagi itu sunyi. Jam menunjukkan pukul tujuh, namun belum ada tanda-tanda kehidupan di rumah besar itu. Lisa melangkah keluar dari kamarnya, rambut masih acak-acakan, wajahnya belum sepenuhnya terbangun.

"Sepi sekali..." gumamnya.

Tiba-tiba, aroma manis menusuk hidungnya. Perutnya langsung bereaksi. Ia mengikuti aroma itu hingga sampai ke dapur.

Di sana, ia menemukan seorang wanita paruh baya sedang sibuk memasak.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Lisa datar.

Wanita itu, Hyorin-ibu tirinya-terkejut sebentar, lalu tersenyum.

"Eohh... Lisa, kau sudah bangun? Hari ini hari libur, jadi Eomma membuat macaron untuk kalian," jelasnya lembut.

Lisa mengambil segelas air tanpa ekspresi, lalu duduk di meja makan.

"Kenapa chef di rumah ini tidak berguna untuk mengerjakan itu?" omelnya dingin.

Hyorin tersenyum canggung. "Aku hanya ingin memasak untuk keluargaku, Lisa. Nih, makanlah. Aku dengar kau suka tiramisu."

Di hadapan Lisa, sepiring macaron tiramisu diletakkan. Lisa terdiam. Ia memang suka-sangat suka. Tapi ia menatap makanan itu ragu.

"Makanlah, Lisa-ya. Eomma tak menaruh racun di dalamnya, kok."

Lisa mendengus. Ia mengambil satu, menggigit perlahan. Matanya membulat kecil.

"Enak sekali," batinnya, namun wajahnya tetap datar.

"Bagaimana? Enak?" tanya Hyorin, duduk di sampingnya.

"Not bad," sahut Lisa singkat.

Hyorin tersenyum dan mengusap rambut Lisa perlahan. Lisa membeku. Sudah lama sekali ia tidak merasakan belaian seperti itu.

"Kalau begitu, Eomma ambilkan lagi, ya!" seru Hyorin, lalu bangkit kembali ke dapur.

Lisa masih terdiam, memegang bekas belaian itu. Ia tersenyum kecil.

Namun sebelum ia sempat mengambil macaron kedua, sebuah tangan lain datang merebutnya.

"YAKK!! APAAAA!!" jerit Lisa, kesal.

Jiyong, ayahnya, tertawa sambil mengunyah macaron tersebut.

"Appa kenapa sih! Itu untukku!"

"Aigoo... perhitungan sekali sama appamu sendiri," sahut Jiyong, pura-pura sedih.

Hyorin hanya menggelengkan kepala melihat tingkah suami dan anaknya.

Tak lama, Chaeyoung dan Jisoo muncul, langsung mencium pipi Hyorin.

"Selamat pagi, Eomma..." sapa mereka kompak.

Lisa hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada macaron-nya.

"Semua ini Eomma yang buat?" tanya Chaeyoung.

Hyorin mengangguk. "Iya, Nak. Ayo makan, sebelum Appa kalian menghabiskan semuanya."

"Yakk! Kau pikir Appa punya perut karet apa?" protes Jiyong. Suasana dapur pun menjadi riuh penuh tawa.

Kecuali Lisa. Ia hanya tersenyum tipis.

Sudah lama ia tak merasakan suasana hangat seperti ini.

"Jisoo-ya, kamar Jennie masih tertutup?" tanya Hyorin.

Jisoo mengangguk. "Semalam mabuknya cukup berat, Eomma. Kurasa dia akan bangun siang."

"Ayshh... Appa sudah berapa kali bilang jangan terlalu banyak minum wine... Lisa, tolong bangunkan kakakmu itu," pinta Jiyong.

Lisa tak menjawab. Ia hanya bangkit dari kursi dan berjalan perlahan menuju kamar Jennie.

Jika kamu ingin bagian ini dilanjutkan atau diedit dengan nuansa yang lebih gelap atau penuh konflik, aku siap bantu juga.

The BrightestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang