Chapter 33
Aneh tapi nyata. Semenjak percakapan terakhir Katrin dan Garvin di balkon kelas, mereka tidak pernah menggobrol lagi. Ketika Katrin menyapa, Garvin akan diam saja atau cuma merespons dengan anggukan, gelengan, atau gerakan matanya. Setiap kali Katrin mengajak ngobrol, Garvin langsung pergi. Gelagat cowok itu seakan sedang menjauh darinya.
Di kelas matematika pun, sikap Garvin nggak seperti biasanya. Dia nggak banyak bicara, nggak ngomelin Katrin seperti biasa, atau ngajarin materi dengan tatapan Hitlernya. Garvin hanya akan menjawab jika Katrin berikan pertanyaan. Tentu saja pertanyaannya harus menyangkut matematika.
Semakin hari, sikap Garvin makin dingin. Lebih dingin daripada sebelum-sebelumnya. Cowok itu bahkan nggak mau menatapnya. Katrin jadi bertanya-tanya, apakah dia pernah berbuat salah? Dia tidak menemukan alasan kenapa dirinya tiba-tiba dimusuhin seperti ini.
Di kelas matematika pagi ini kebetulan Pak Anjar hanya mengajar 30 menit dan sisanya beliau meminta anak muridnya untuk belajar mandiri, sepeninggal bapak itu Katrin memainkan iPadnya dan mulai membuka aplikasi procreate. Sesuai dugaan, Garvin nggak terpengaruh.
"Gar, kalau gue gambar lo buat project Dies Natalis, menurut lo gimana?" tanya Katrin, iseng tapi sebenarnya terselip keseriusan. Beberapa hari terakhir dia kepikiran untuk mengganti wajah Reihan dengan wajah Garvin. Visual cowok itu meski dalam versi ilustrasi pasti akan mengundang decak kekaguman.
Seharusnya sih mudah saja bagi Katrin mewujudkan rencananya itu, tapi Katrin takut jadi bahan pembicaraan anak-anak di sekolahnya. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba dia menggambar Garvin. Orang-orang nanti mengira Katrin naksir berat sama cowok itu, dan bagian yang menyedihkannya, dari gelagat Garvin, mana mau dia sama Katrin.
"Gue lagi ngerjain soal, Kat," balas Garvin nggak minat. Cowok itu memang sedang sibuk dengan buku matematikanya.
Katrin mencibir. Nggak lagi ngerjain pun, dia tahu Garvin tetap nggak mau bicara dengannya. Itu hanya alasannya saja.
Beberapa hari terakhir, Katrin benar-benar bingung kenapa Garvin bisa berubah dalam satu kedipan mata. Padahal seingatnya mereka baik-baik saja. Apa cowok itu lagi ada masalah di rumah, ya? Tapi sayangnya Katrin nggak berani bertanya.
Alhasil, daripada lelah ngajak ngomong patung atau manusia paling sok sibuk di seluruh dunia itu, Katrin memutuskan untuk mulai menggambar. Lupakan sejenak project Dies Natalisnya, dia mau menggambar konten untuk kitkatcomic-nya. Lagipula Katrin sudah minta Reihan untuk menunggu sekitar dua minggu lagi dengan dalih bahwa iPadnya rusak dan datanya kemarin sempat hilang. Katrin memang lihai berbohong kalau urusan demi menyelamatkan harga dirinya.
Dua menit berlalu, yang dilakukan Katrin hanya menatap kanvas digitalnya, dia belum juga dapat ide untuk konten komikstripnya itu. Akhirnya, dia memutuskan untuk menggambar bebas. Menggambar kucing.
Selagi menggambar objek yang membuatnya otomatis mengingat Bobby, Katrin jadi berkeinginan menanyai kabar hewan berkaki empat yang dititipkan di rumah Garvin itu.
"Bobby kabarnya gimana, Gar? Aman?"
"Hm," gumam Garvin singkat.
"Syukurlah." Hanya itu jawaban Katrin karena berdasarkan respons Garvin barusan, terlihat jelas cowok itu tidak berkenan melanjutkan pembicaraan.
Sambil melanjutkan kegiatan menggambarnya, sesekali Katrin melirik Garvin. Cowok itu masih sibuk sendiri. Setelah gambarannya jadi, Katrin tersenyum puas dan kembali mencoba mencairkan suasana.
"Lihat, Gar, mirip Bobby nggak?" Katrin menggeser iPad-nya agar bisa dilihat Garvin. Cowok itu melirik singkat dan mengangguk. Reaksi singkat yang sudah diduga Katrin tapi tetap saja membuatnya kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Katrina
Teen FictionKatrin sebel banget sama Pak Anjar, guru matematikanya yang doyan diskriminasi itu. Gara-gara nilai ujian matematikanya yang di bawah standar, dia harus berurusan dengan Garvin atas perintah bapak itu. Garvin itu memang luar biasa pintar. Segala rum...