Chapter 15
Sabtu sore, Katrin kembali melakukan aktifitas favoritnya. Menggambar. Kali ini, dia berkutat pada sketsa karakter yang akan dijadikan icon sekolahnya.
Di tengah kesibukannya tersebut, pintu kamarnya terbuka. Wajah mamanya yang menyembul di balik pintu membuat Katrin dengan sigap menarik sebuah buku di meja belajarnya guna menutupi iPadnya yang masih menyala.
"Ada apa, Ma?"
Mama Katrin memasukki kamar dan mendekati anak semata wayangnya itu. "Mama tahu kamu lagi gambar."
Katrin mengerucutkan bibir saat mamanya menarik buku yang menutupi iPadnya. "Tuh kan! Belajar Kat, jangan sibuk gambar terus," peringat beliau seperti biasa.
"Aku barusan selesai belajar kok, ma," kilah Katrin. "Mama ngapain kesini?"
"Beneran baru selesai belajar?" tanya Mamanya tak yakin. Katrin langsung mengangguk.
"Di depan rumah kita ada anak kucing, Kat. Besok pas kamu berangkat sekolah, sekalian kamu buangin. Taroh di jalanan aja. Cari tempat yang deket rumah makan."
"Hah? Anak kucing siapa?"
"Nggak tahu, anak kucingnya udah ada dari kemarin malem di teras rumah kita. Siang tadi udah mama taroh di depan komplek, tapi balik lagi."
"Sekarang dia masih di teras?"
Mamanya mengangguk.
"Aku mau liat," lalu, Katrin langsung melangkah menuju teras rumahnya.
Kucing yang dimaksud mamanya ada di bawah kursi rotan dekat pintu rumahnya. Katrin berjongkok berusaha meraih mamalia tersebut.
"Pusss, puss," Panggil Katrin dengan lembut.
Kucing berwarna oranye yang usianya mungkin baru lima bulanan itu berjalan mendekat. Matanya tampak berkilau di bawah cahaya lampu yang menerangi teras rumah. Kucing tersebut begitu menggemaskan meski bulunya tampak berdebu. Mungkin karena faktor jadi kucing jalanan selama beberapa hari belakangan.
Katrin sebenarnya suka kucing. Pas SMP dia pernah memelihara seekor kucing. Namanya Jojo. Jojo adalah jenis kucing ras persia yang meninggal dunia karena ditabrak mobil.
Kehilangan kucing kesayangan membuat Katrin sedih berkepanjangan. Makanya sejak itu, mamanya nggak pernah mengizinkan Katrin memiliki hewan peliharaan lagi. Selain itu, menurut mamanya, hewan peliharaan itu merepotkan. Mamanya memang bukan penyuka kucing.
Mama Katrin muncul di belakang Katrin. "Nanti pagi mama karungin."
"Jangan, Ma. Kasian." Katrin mengelus kepala kucing yang sudah berdiri tepat di samping lututnya itu. Bahkan kucing jantan itu mulai menyodorkan dirinya kepada Katrin dengan manja, seakan Katrin adalah majikannya.
"Kita rawat aja," lanjut Katrin.
"Nggak! Mama nggak mau ada kucing lagi di rumah ini. Repot."
"Nggak ngerepotin, kok, Ma. Kan aku yang urus."
"Kamu nggak inget apa Jojo dulu suka buang air sembarangan? Terus juga sofa kita rusak semua karena dicakar dia."
"Kita ajarin dia buang air di pasir khusus gitu, Ma. Kan banyak tuh jualnya."
"Papa kamu nggak suka kucing, Kat."
Mamanya salah, papanya bukan nggak suka kucing. Bisa dibilang, Papanya takut kucing. Papa selalu kabur duluan apabila didekati Jojo serta mengomel ria kalau Jojo berkeliaran di rumah. Makanya kalau malam hari, pas Papanya lagi dirumah, Jojo biasa dikandangin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Katrina
Ficção AdolescenteKatrin sebel banget sama Pak Anjar, guru matematikanya yang doyan diskriminasi itu. Gara-gara nilai ujian matematikanya yang di bawah standar, dia harus berurusan dengan Garvin atas perintah bapak itu. Garvin itu memang luar biasa pintar. Segala rum...