22 - Progress

4.3K 870 118
                                    

Chapter 22

Setelah bujuk rayu Katrin, Garvin akhirnya mau diajak bernegosiasi. Garvin akan menuruti kemauan Katrin, yaitu bersedia diajak ke studio band asal cewek itu mendapat nilai minimal 70 di ujian matematika nanti. Meski standar Garvin hanya turun 10 poin, Katrin terpaksa harus setuju. Sejujurnya dirinya sendiri masih bertanya-tanya penuh keraguan, apakah dia mampu melampaui nilai tersebut atau kah itu masih terlalu mustahil untuk dilakukannya.

Namun, daripada memikirkan kemungkinan tersebut, Katrin memutuskan untuk mengambil aksi nyata agar hasilnya bisa positif. Dia betul-betul belajar demi mempersiapkan diri.

Seperti hari ini, mungkin untuk kali pertama dalam hidupnya dia belajar di perpustakaan sekolah secara sukarela. Betul-betul tanpa paksaan dari pihak lain. Dia benar-benar berniat untuk fokus membaca dan mengerjakan soal-soal matematika di bukunya untuk melatih diri agar nggak mati gaya ketika hari ujian nanti.

Dan ajaibnya, di hadapannya kini ada Dewi. Dengan alasan serupa, dia terpekur pada buku-buku di atas meja. Dua puluh menit yang lalu cewek berambut seleher itu bilang dia begitu termotivasi untuk mendapat nilai tinggi karena Bian, mentor matematikanya berjanji akan mentraktirnya makan jika nilai Dewi memuaskan.

Menit demi menit berlalu. Meski harus memakan waktu cukup lama karena dia berulang kali bolak-balik buku catatannya, mencorat-coret kertas di belakang buku tulisnya, mengernyitkan alis hingga mengkritingkan dahi, akhirnya Katrin dapat menyelesaikan beberapa soal. Konsentrasinya baru teralih ketika mendengar getaran di atas meja yang berasal dari ponsel Katrin.

Katrin mengambil benda pipih tersebut dan mengecek pesan yang masuk. Ternyata pesan dari papanya yang mengatakan bahwa beliau tidak bisa menjemputnya pulang hari ini.

Setelah membalas pesan papanya, helaan napas lelah lolos dari bibir Katrin. Cewek itu melirik sekitarnya, masih ada beberapa orang di perpustakaan karena seingatnya bel masuk belum berbunyi.

"Ada kamera nggak, ya? Gue kepingin lambai tangan nyerah. Gila banget sih ini, ngerjain soal matematika sukses bikin gue keringetan, kepala berkunang-kunang, mata kabur, asam lambung naik, dan gula darah turun." Katrin geleng-geleng kepala sambil mengatur tubuhnya agar lebih rileks.

"Hahaha, sama. Kayaknya kita phobia matematika deh."

"Capek banget gue, Wi. Mending gue disuruh main procreate aja sampe magrib daripada fokus belajar matematika hampir sejam gini."

"Tapi terbukti kita hampir bisa ngelewatinnya, Kat. Btw, gue baca lim bukan keinget limit, tapi keinget Lim Min Ho," ucap Dewi yang jelas absurd sekali.

Katrin terkekeh pelan karena Dewi menemukan sesuatu yang lucu di tengah materi limit fungsi aljabar yang menurut Katrin sulit ini.

Katrin dan Dewi dikagetkan oleh kedatangan seorang perempuan tinggi di dekat meja mereka. Sambil menyunggingkan gummy smile-nya, cewek itu menyapa dan izin bergabung di meja yang ditempati Katrin dan Dewi. Cewek cantik tersebut tak lain adalah Kanya.

"Hei, Katrin, Dewi, gue gabung, boleh nggak?" ucap Kanya dengan suara lembutnya. "Gue pada nggak kenal sama anak-anak di meja lain," lanjutnya pelan, nyaris seperti sebuah bisikan.

"Boleh, kok, santai aja, Nya," kata Katrin baik hati. Tanpa sengaja matanya melirik buku yang dipegang Kanya. Sebuah buku self improvement berwarna cerah yang sepertinya merupakan buku terjemahan.

Katrin tak ingin membandingkan dirinya dengan orang lain karena itu sama saja seperti cari penyakit, tapi melihat Kanya yang kini mulai sibuk membalikan halaman demi halaman bukunya, membuat Katrin sadar kalau dia dan Kanya benar-benar bertolak belakang. Meski hanya membaca buku self-improvement, tapi aura pintar Kanya betul-betul kelihatan.

Karena KatrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang