Chapter 17

2 1 0
                                    

Melihat betapa kacaunya keadaan Gatra malam itu, Alden tak kuasa untuk bertanya lebih jauh. Ia membiarkan Gatra menenangkan pikirannya. Walaupun sebenarnya rasa penasaran Alden sudah tidak bisa ditahan lagi, tapi sebagai seorang teman ia harus mengerti perasaan Gatra juga.

Pertama kalinya ia melihat keadaan Gatra yang menyedihkan.
Untuk pertama kalinya juga ia melihat Gatra menangis. Seorang laki-laki yang selalu tegar yang selalu tenang, ternyata juga memiliki kesedihan yang tak bisa ditahan jika kesedihan itu terlalu membebankan.
Untuk pertama kalinya wajah Gatra tak sedingin biasanya, banyak kekacauan yang terlihat oleh mata telanjang. Banyak kekhawatiran, kegelisahan, bimbang, dan kesal bercampur menjadi satu. Mungkin bagi Gatra sendiri saat ini adalah saat-saat terpuruk dalam hidupnya.

Namun saat ia membawa Gatra pergi kemarin malam, laki-laki itu langsung menghentikan tangisnya, berjalan tegak seolah tak terjadi apa-apa, seolah beberapa saat yang lalu ia hanyalah sedang berakting.

Lihat?

Seberapa kuat laki-laki itu menahan? Seberapa kokoh pundaknya? Dalam keterpurukan hidupnya ia masih bisa bersikap biasa-biasa saja. Bahkan setelah entah berapa banyak airmata yang mengalir dari kedua mata tajamnya. Alden ingat jelas malam itu. Dibawah kegelapan mata merah Gatra terlihat jelas, juga beberapa memar di wajahnya terlihat begitu pedih.

Alden menggelengkan kepalanya.

"Gue harus beli makanan" Alden lalu beranjak dari duduknya.

Sudah dua hari, bahkan laki-laki itu tak mau membuka pintu kamarnya saat ada Alden didepannya. Jadi Alden selalu menaruh makanan didepan pintu, persis seperti saat mereka satu rumah. Dan saat ini mereka juga bersebelahan. Untungnya laki-laki itu selalu memakan makanan yang ia berikan, walaupun tidak pernah mengambil makanan itu secara langsung.

Disisi lain, di kamar sebelahnya, seorang laki-laki duduk menyandar disebelah ranjang. Menaruh kepalanya dilipatan tangan. Makanan tergeletak dimana-mana, masih belum tersentuh sama sekali. Dua hari ini ia hanya berpikir.

Bagaimana ia masih punya muka untuk kembali bertemu dengan Farrel dan Syaira?

Bagaimana jika suatu saat nanti mereka mengetahui bahwa pembunuh orang tua mereka adalah orangtuanya sendiri.

Bagaimana dengan janji yang selalu ia pegang erat dalam hatinya untuk membalaskan dendam mereka.

Lalu bagaimana dengan harapannya?

Harapannya beberapa minggu yang lalu, ia ingin mencari orangtuanya. Karena ia yakin orangtuanya juga masih menginginkannya. Harapan itu masih ada hingga ia bertemu dengan Genta harapan itu pupus, pecah berkeping-keping. Harapan memiliki keluarga lagi juga tak pernah terpikirkan lagi dalam otaknya.

Suara tangisan yang begitu menyedihkan, pelan namun sangat sesak. Seolah dadanya dihantam batu besar. Sudah dua hari ia bergelut dengan pikirannya sendiri, menghiraukan rasa lapar di perutnya, menghiraukan rasa lelah, menghiraukan telfon disisi ruangan yang tak tersentuh sejak dua hari yang lalu, dan selalu berdering setiap beberapa jam, entah itu panggilan telfon atau hanya sekedar pesan masuk. Ia menghiraukan segalanya.

Satu-satunya yang ada dalam pikirannya sekarang hanyalah.

Bagaimana caranya kabur dari masalah ini.

Bagaimana caranya agar semua ini cepat pergi.

Bagaimana caranya agar pikirannya tetap tenang!

"ARGHHHH!"

Raungan keras terdengar begitu memekakkan telinga. Setelah raungan itu seseorang dengan tergesa-gesa mengetuk pintu.

"Gatra! Lo kenapa! Buka Ga!"

Black and WhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang