Semilir angin berhembus merasuki pori-pori kulitku, dengan perbincangan di meja bergaya dua puluh tahunan, pernis yang masih melekat membuatnya nampak berkilau. Pada suatu malam yang ramai, di sudut jalan berdekatan dengan pabrik-pabrik yang masih bekerja demi memenuhi kebutuhannya, di selatan pusat berbelanjaan City Of Tomorrow, aku masih dengan kesendirian di meja kotak ini bersama tiga orang temanku. Ada yang memakai kemeja bergaya kotak-kotan dengan aksen kerudung hitam dan dihiasi oleh kacamata yang selalu menempel di hidungnya. Yang lain, memakai kemeja biru terusan dengan hijab hitamnya yang selalu ia kenakan, serta gawai yang senantiasa menemaninya dikala ia berbicara. Yang satunya laki-laki berambut kecoklatan dengan memakai kemeja berkasen kotak-kotak merah Jambu, serta rasa gelisah yang selalu menyelimutinya saat ini. Ditambah aku yang selalu memikirkan pertemuan kita segera terwujud dalam keniscayaan, dan membuatnya sedikit lebih lama dengan memutar waktu atau bahkan menghentikan waktu saat itu agar aku bisa berdua denganmu, Ann.
(***)
Pada malam kelabu yang masih menyisakan keringat akibat teriakan yang sering kau raungkan dengan begitu menggairahkan, bahkan membuat tetangga celingukan dengan suaramu yang merdu itu. Kau wanita yang sangat hebat di ranjang, Ann, sekali main pun tak cukup, butuh beberapa kali untuk memuaskanmu akibat kesalahannku menciummu. Rambutmu terurai menutupi payudaramu dengan mata binar biru itu aku masih bisa melihat ketulusanmu dalam memainkan hal itu. Tanpa pikir panjang, jeritan kepuasaan kita sampai pada titik puncak, di mana aku merasa kelelahan dan kamu merasa kenikmatan. Sampai mentari itu membangunkan kita, dan berbisik, “Tot wanneer wil je slapen in de bias van het licht dat ik schijn? (Sampai kapan kau ingin tertidur dalam bias cahaya yang aku sinari?)” ucapnya sambil tersenyum bijak dan tak memerdulikanku dalam mimpi panjang yang masih membuatku terlena.
Dengan sedikit kelelahan dan punggungku yang terasa remuk, aku membuka mata dan mencoba bangkit dari tidurku, dengan setengah sadar kau sudah pergi meninggalkan sendiri. Dengan perasaan cemas, “Wat heb ik je aangedaan, Ann? Ik hou onvoorwaardelijk van je en zonder je lichaam te willen, laat staan je kuisheid op te offeren. (Perbuatan apa yang telah kulakukan kepadamu, Ann? Aku mencintaimu tanpa syarat dan tanpa mengingkan tubuhmu, apalagi harus mengorbankan kesucianmu.)” Gumamku sembari beranjak bangkit dan menyesali perbuatanku itu. Waktu cepat berlalu, dan waktu sekolah pun sudah terlewat, aku bergegas menuju sekolah, dengan menaiki becak kusuruh pengemudinya cepat bergegas, karena aku terlambat. Pukul 10 aku memasuki halaman sekolah, dengan keterlambatanku aku masuk ke ruang kelas dan pengajar saat itu menyuruhku pergi ke lapangan untuk berlari mengitarinya sebanyak sepuluh kali. Rasa dahaga pun datang, dengan betis kaki yang sedikit terpelintir (kram) aku masih melanjutkan hukuman tersebut. Teriknya kian menyengat pori-poriku, Ann.
Sampai tiba di mana pelajaran berikutnya, kumemasuki kelas dengan sepoyongan, berharap tak ada yang mengejekku di kelas, tapi sudahlah, itu hanya omong kosong. Aku duduki bangku yang biasa kududuki, tanpa pikir panjang aku raih air mineral di depan mataku lalu kuminum dengan semangatnya. Sampai pemiliknya memarahiku, aku tidak menghiraukannya, tapi ada yang mengganjal, minuman ini terasa tidak asing, apakah ini anggur putih? Atau air mineral biasa? Tapi air mineral biasa tidak semanis dan membuat tenggoraknku semakin kering. Ternyata ada-ada saja teman kelasku ini, membawa anggur putih ke sekolah tanpa ada yang tahu, dan aku pun tidak membicarakannya.
(***)
Setelehnya, pukul 4 sore, waktu makin berlalu aku masih menunggumu di taman sekolah berharap kau muncul di tengah keramaian ini, namun rasa itu tak kunjung berakhir, malah berubah menjadi kecemasan yang aku anggap kau tersakiti atau apalah itu. Aku menyusuri taman itu bergegas pulang dan membersihkan diri sembari mengerjakan tugas yang diberikan mengenai aljabar. Aku masih ditempatkan pada pikiranku yang semrawut, “Apakah kau baik-baik saja?” dengan termenung aku mulai mencari titik kilas balik saat aku mencumbumu untuk kali pertama, sedang itu perlakuan buruk yang kulakukan juga. “Ik bedoel, moeten we een tijdje uit elkaar zijn? Dan is het herzien van die fout onze laatste ontmoeting? Is dat zo? (Maksudku, apakah kita seharusnya berpisah untuk sementara waktu? Lalu mengulas kesalahan itu menjadi pertemuan terakhir kita? Apakah seperti itu?)” Aku hanya menggelengkan kepala, dengan keringat yang sedari tadi mengucur dari dahi turun ke kaki. Sampai kapan aku mengurung perasaan sepi dan yang sudah kita lalui?
Aku harap pesan ini sampai ke telingamu, dan sampai pada rasa yang membuatmu pergi begitu saja. Seperti lagu yang aku gemari dari Fransz Lizst yang berjudul La Campanella, yang mewakili kegundahanku saait ini, Ann, kau harus mendengarkannya, agar kau tahu bahwa kabarku sedang tidak baik-baik saja. Sampai kita bertemu di kemudian hari, aku berharap bisa mengecupmu berulang kali sampai kau tersenyum dan berkata, “Alles goed met je, Sen? Ik denk aan je hier. Ben je boos of kwaad op mij? Ik hoop het niet, want ik hou ook van jou, Sen. (Kau baik-baik saja, Sen? aku memikirkanmu di sini. apakah kau marah padaku? kuharap tidak, karena aku juga mencitaimu, Sen.)” anganku yang terlamapu jauh.
Bersambung…
Dari pelataran rumah putih menuju ruang abadi, melewati jalan yang sunyi dengan engkau yang kunanti, ditemani musik Borneo lantas kau jangan berpaling hati, 25 Oktober 2021.

KAMU SEDANG MEMBACA
Annalise
Proză scurtăAnnalise Dwight Rossevelt seorang perempuan tinggi semampai, bermata biru, berambut menyerupai bunga matahari, dan anting merah delima yang selalu ia kenakan menjadi saksi di pelipis matamu senja itu berlabuh.