Suatu Sore di Kali Pegirian, kicauan burung kenari berlomba merebutkan juara dunia suara paling indah. Tetapi, burung-burung itu tidak ada satupun yang menang dalam perlombaan tersebut, "Lalu pemenangnya siapa?" Tanya salah seorang bocah yang memegang es krim dengan penasaran. Jawabku, "Burung-burung itu menjadi kurang merdu, karena bising yang ditimbulkannya sendiri." Dengan kuhisap putung rokokku. Semakin penasaran dengan yang kukatakan, bocah itu dengan sigap memeriksa tanganku, "apakah ada yang salah? Atau nadiku berdenyut kencang? Mungkin dugaannya saja." Batinku mulai penasaran, tapi tak kuambil pusing mengenai apa yang akan dilakukan oleh cucuku itu. Dalam ingatanku, "pemenangnya adalah dirimu, Ann."
(***)
Senja menepi di perbatasan barat, ia menurut saja dengan angin yang membawanya pulang. Sementara aku masih menanti di tempat yang kita janjikan, tapi sosokmu tak kunjung datang malah senja yang menghampiriku dan duduk di sampingku. Angin membawa pesannya, kutoleh arah timur laut dan sosokmu sedang berjalan mendekat. Memakai baju terusan putih dengan sepatu hak berwarna legam, dan topi jerami yang kau gunakan sedikit menunduk, tak lupa juga anting merah delima yang menemanimu, Ann.
Kau berjalan dengan anggunnya, kau gadis kaku yang tak suka lenggak-lenggok dengan sepatu hak itu. Setibanya kau di dekatku senyummu menghiasi paras surgamu itu, tak kuasa aku menahan air mata. "Wat is er aan de hand, Sen? waarom huil je? (Ada apa, Seno? Kenapa kamu meneteskan air mata?)"
Sembari mengusapnya, kuberanjak dari tempat duduk dan mulai menggenggam tangannya. "Nee, ik ben in orde, Ann. Laten we deze rivier aflopen. (Tidak, tidak apa-apa, Ann. Mari kita berjalan menyusuri sungai ini.)" Jawabku sembari menarik tangannya perlahan mengisyaratkan ia lekas mengikuti.Perbincangan kami terasa hangat nan dingin, jingga masih membuka setitik cahaya di langit sore itu. Air pun tak kuasa menahan dirinya mengikutiku, ia penasaran dengan perbincangan kami. Gelak tawa juga menghiasi angin yang membawa suratnya, dan kami pun sudah berada di ujung jalan, tempat duduk itu pun sudah berbaris rapi menanti kami datang. Dengan perlahan isyarat duduk sudah kutawarkan, dan dia menurutinya.
Perbincangan kami tak lepas dari situ, "Ann, je bent mooi vandaag. Ik prijs u eerlijk. (Ann, kau cantik hari ini. Aku memujimu dengan jujur.)" Ann, hanya tersipu malu, rambutnya terurai menutupi bagian dadanya. Ia tahu bahwa aku sedang menatapnya dalam-dalam, kontak mata kami bertemu, lalu masing-masing dari kami memejamkan mata dan bibir kami bersentuhan. Ciuman itu tak terelakkan. bibir, Ann, yang ranum dengan garis samar melintang membuat sketsa realita bahwa ia sedang menikmatinya. Lama kami saling mengacuhkan keadaan sekitar, hampir setengah jam dan ia memintaku untuk memesan kamar. Setelah kami berlari ke hotel sekitar dan merayakannya di suasana malam, ada yang menghilang, kutanya apa? Ia tak menjawab lalu meneruskan ciuman serta menanggalkan satu persatu pakaian yang aku kenakan. Sementara itu, Ann, kau telah kumiliki sepenuhnya dalam pekat malam. Remasan demi remasan kulakukan dan jeritan itu yang selalu aku rindukan di kala petang sudah menjelang.Bersambung...
Perhatianku sudah menjadi milikmu sepenuhnya, dan kau sudah menjadi bunga penutup abad di kekekalan momentum pada ruang abadi, dan jangan menangis di jalan pulang, di ruang penuh keringat dan jeritan, 11 Oktober 2021.

KAMU SEDANG MEMBACA
Annalise
Historia CortaAnnalise Dwight Rossevelt seorang perempuan tinggi semampai, bermata biru, berambut menyerupai bunga matahari, dan anting merah delima yang selalu ia kenakan menjadi saksi di pelipis matamu senja itu berlabuh.