2. Daun Yang Menguning

4.4K 320 4
                                    

"Selamat pagi, saya Marvin Hamilton mahasiswa tingkat akhir. Sebelumnya dosen pembimbing Profesor Ludwig, saya ingin melakukan konsultasi tentang disertasi saya. Apa bisa hari ini saya melakukan konsultasi?"

Aku terdiam sesaat menatap layar ponsel yang menampilkan sebuah pesan singkat.

Haruskah aku menerima permintaannya?

Namun apa yang jariku lakukan berkebalikan dengan apa yang ku pikirkan.

"Hari ini saya tidak bisa. Bertemu saja besok pukul 09.00 di ruangan saya." Balasku sebelum ku pencet tombol kirim.

Aku merenung sesaat. Bukankah yang ku lakukan sangat bisa dikatakan tidak professional? Aku tak bisa menempatkan masalahku sesuai dengan tempatnya. Mencampurkan antara urusan pekerjan dan pribadi yang seharusnya tak ku lakukan.

Ku hembuskan napas kasar sebelum berucap lirih. "Tidak apa... Hanya untuk kali ini." Ucapku pada diri sendiri.

Dan saat mendapatkan balasan dari mahasiswa tersebut, entah mengapa aku sedikit merasa lega.

"Baik, terimakasih."

Setelahnya, tanpa membalas pesan tersebut aku segera membereskan barang-barangku yang berada diatas meja.

Aku terus merasakan sesak disetiap napas yang ku hembuskan. Hatiku hancur. Kepercayaanku telah menghilang. Dan rasa cintaku telah musnah pada sesorang yang pernah meminta hatiku untuk dijaganya.

Sungguh aku membutuhkan kekuatan. Aku perlu membebaskan kesakitan yang terus menggeluti diriku. Aku--ingin sedikit lebih lega dengan melepaskan sedikit beban yang ku tanggung selama ini.

***

"Kau harus menceraikannya."

Aku yang semula menyembunyikan wajah diatas meja seketika mendongak menatapnya. Aku tak percaya jika Chloe akan setegas ini dalam menyikapi permasalahanku.

"Aku bersungguh-sungguh,Zee. Kau harus menceraikan Arthur." Tegas wanita itu lagi.

Aku masih mengunci bibirku karena  tiba-tiba kepalaku terasa berat dengan apa yang terjadi.

Chloe memicing. Menyelidik pada sikap temannya yang membuatnya tak paham.

"Zee, jangan bilang kau--"

"Aku tidak bisa melakukannya," Sahutku lirih sebelum Chloe menyelesaikan kalimatnya.

Chloe itu menggelengkan kepala beberapa kali. Ia tak percaya dengan apa yang dikata temannya.

"Demi Tuhan, Zee. Dia sudah mengkhianati pernikahan kalian. Arthur sudah bermain api dibelakangmu dengan simpanannya. Dan bagaimana bisa kau masih ingin mempertahankan pernikahanmu."

"Tidak semudah itu, Chloe. Banyak hal yang harus ku pertimbangkan dan pikirkan." Balasku pelan.

"Kau masih mencintai Arthur, Zee?" Sahut sang lawan bicara cepat.

Aku terdiam. Hatiku sedang mencari kepastian, apakah disudut sana masih ada Arthur yang mengisi. Namun semakin lama aku mencari, maka hanya kehampaan yang ku rasakan.

"Aku tidak tau. Aku tidak tau apakah aku masih mencintainya atau tidak, Chloe."

"Beri tau aku, apa yang kau rasakan ketika melihat wajahnya?"

Aku memandang Chloe dengan lekat namun tatapan mataku mengisyaratkan kepedihan begitu dalam. "Sakit. Hanya itu yang ku rasakan."

"Lalu untuk apa kau mempertahankan hubungan kalian yang bahkan ketika melihatnya pun kau merasa sakit, Zee." Ucap Chloe menuntut.

"Karena dia cinta pertamaku. Tidak mudah bagiku untuk menghapus  Arthur dari hidupku, Chloe." Jelasku.

Wanita itu mendengus remeh. Sebelah bibirnya terangkat untuk tersenyum sinis.

"Tapi nyatanya sekarang cinta pertamamu telah berubah. Ia tak lagi memberikan cinta yang kau inginkan. Dia sudah menyakitimu dengan pengkhianatan yang dilakukannya. Tak bisakah kau melihat kebenaran itu, Zee?"

"Aku tau, Chloe. Aku tau dia sudah menyakitiku dengan hebat. Dia juga sudah membuatku menangis sepanjang malam. Tapi sungguh aku tidak bisa melakukannya, Chloe. Aku tak bisa menceraikan Arthur," Ucapku dengan gelengan lemah.

Air mataku kini mulai mengalir kembali. Hatiku terasa begitu nyeri ketika mengingat saat itu. Saat dimana aku melihat pesan singkatnya yang menunjukkan foto Arthur tengah tertidur dengan wanita lain tanpa busana.

Kenapa?

Kenapa Arthur melakukannya?

Apa kurangnya aku hingga dia mengkhianati cintaku?

"Tidak setiap cinta akan berakhir membahagiakan, Zee. Kau harus mengetahui itu. Dan saat ini, hanya ada dua pilihan yang kau miliki, mencari bahagiamu sendiri atau tetap merasa sakit."

Chloe meraih tangan temannya lalu menggenggam erat.

"Dan sebagai teman yang peduli padamu, aku ingin kau bahagia, Zee." Ujar wanita itu tulus.

Air mataku turun semakin deras. Aku benci pada diriku sendiri yang masih menyimpan cinta untuknya. Cinta untuk lelaki yang telah menodai perasaan yang ku berikan.

"Aku membencinya, Chloe. Tapi hatiku masih terikat padanya." Aduku dengan tangis yang tak berhenti.

Hatiku hancur, kepercayaanku telah hilang, tapi rasa cintaku masih tertuju padanya.

Aku tau, aku memang dibodohkan oleh cinta. Tapi--Arthur adalah sosok yang berada disampingku ketika aku sedang mengalami kejamnya dunia. Dia adalah sosok yang bisa menguatkanku untuk melalui rintangan itu.

Namun--mengapa pada akhirnya dia menyakitiku?

Mengapa dia menghancurkan cinta yang sudah ku bangun begitu besar untuknya?

Dan sekarang, bagaimana aku bisa hidup jika separuh jiwaku telah pergi dan meremukkan diriku?

Aku tak tau. Aku tak tau bagaimana harus hidup disaat kaki ku telah pincang dan tak memiliki penyangganya.

Hidupku-- tak memiliki tujuan seperti dulu.

***

*Chloe Dwyn

*Chloe Dwyn

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


IMMODERATE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang