25. Bisakah?

1.7K 160 70
                                    

[ I M M O D E R A T E🍷]

Aku mencintainya. Aku mencintai sosok lelaki yang kini tengah mengeluarkan beberapa barang bawaan untuk kegiatan liburan kami. Dia diam. Sama sepertiku yang mendiamkannya beberapa saat lalu selama perjalanan.

Perasaan bersalah menyeruak dalam hatiku. Mengapa aku selalu bersikap tanpa memperdulikan perasaannya.

Dia tetaplah manusia biasa. Dia tetaplah lelaki yang memiliki hati dan bisa terluka. Dan aku--aku telah beberapa kali memberikan percikan perih terhadap hatinya.

Bukankah aku telah menaruh separuh jiwaku pada lelaki itu? Mengisi setiap sudut hatiku hanya untuk dirinya. Tapi mengapa? Mengapa masih ada yang menggangguku? Mengusik pikiranku hingga selalu meragu dan tak bisa sepenuhnya percaya bahwa cinta itu ada. Bahwa perasaanku padanya benar-benar nyata.

Marvin melintas didepanku. Membawa barang terakhir yang ada dikedua tangannya. Hatiku mencelos ngilu ketika melihat keterdiamannya yang bahkan tidak menatapku ketika lewat.

Apakah sebesar itu aku membuatnya kecewa?

Bibirku ku gigit kuat. Mataku berkaca dan hampir menangis jika aku tidak menahannya. Rasa sesak meremas paru-paruku ketika mengetahui bagaimana aku membuatnya kembali patah.

Mengapa aku begitu kejam pada lelaki yang selalu memperlakukanku dengan baik?

Perlahan kakiku bergerak untuk berjalan mengikuti jejaknya. Memasuki sebuah rumah singgah sementara milik keluarga pemuda itu ketika berlibur bersama.

Marvin berdiri disebelah sofa untuk meletakkan barang bawaan. Dan tanpa menunggu lama lagi, kakiku bergerak lebih cepat untuk mendekat. Melingkarkan kedua tangan pada pinggangnya, memeluknya dengan begitu erat seakan aku takut jika dia akan meninggalkanku.

Aku merasakan tubuhnya menegang. Entah karena dia terkejut atau tak merasa nyaman atas apa yang ku lakukan padanya.

Punggung tanganku merasakan jemarinya yang bergerak untuk melepaskan lilitan lenganku, tapi aku tidak membiarkannya. Aku semakin kuat memeluknya bahkan tak peduli jika membuatnya merasa sesak.

Aku takut. Aku takut jika dia akan meninggalkanku juga karena sudah begitu muak dengan sikapku.

"Maaf..." Lirihku pelan.

Hanya itu kata yang bisa ku ucapkan untuk menunjukkan betapa menyesalnya diriku.

"Maafkan aku..."

Marvin sudah tidak berusaha melepaskan rengkuhanku. Namun dia masih tetap ditempatnya tanpa berkeinginan berbalik untuk menatapku.

Hatiku semakin merasa terpukul atas respon dirinya.

Air mataku akhirnya meluncur setelah beberapa saat lalu mencoba untuk tidak menangis. Tapi sepertinya ketakutan memberikan efek yang luar biasa hingga aku tak mampu mengontrol diriku kembali.

"Maaf Marv... Maafkan aku karena terlalu egois dan hanya memikirkan diriku sendiri...Maaf karena tidak memperdulikan perasaanmu sekali lagi..." Ucapku dengan suara bergetar.

Aku menenggelamkan wajahku pada punggung lebarnya. Menghirup aroma tubuhnya yang selalu bisa membuatku tenang. Tapi entah mengapa hari ini berbeda. Aku tidak menjadi tenang seperti biasanya. Lebih dari itu, aku menjadi semakin ketakutan.

"Apa kau benar-benar mencintaiku, Zee? Ataukah kau hanya menjadikanku sebagai alat penghiburmu?" Pungkas lelaki itu memecah keterdiaman dengan suara dinginnya.

Kepalaku menggeleng kuat. Menepis pernyataannya yang sangat salah. Bagaimana mungkin dia masih berpikir demikian disaat aku tidak mampu membayangkan tanpa dirinya?

IMMODERATE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang