Dua tubuh manusia saling berpelukan berusaha memberikan kehangatan satu sama lain. Bagaimana tidak, ditempat yang terbuka, keduanya hanya terbungkus oleh selembar selimut lebar untuk menikmati pemandangan alam diatas kap mobil setelah kegiatan panas mereka.
"Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengirimkan surat perceraian pada suamiku."
Marvin tidak menjawab. Akan tetapi ia semakin mengeratkan pelukannya pada sang wanita yang ia ketahui sebenarnya sangat rapuh itu.
"Aku sudah menyiapkannya sejak lama. Tapi hati kecilku terus menerus menolaknya. Dia mengatakan untuk berusaha memperbaiki semuanya sekali lagi. Dia mempercayai jika semua ini hanya ujian dan akan membaik. Akan tetapi seperti kau kau katakan, suamiku bukankah sosok yang tepat untuk mendapatkan seluruh hidupku. Aku berhak memilih kebahagiaanku. Aku sudah melakukan hal yang benar kan Marv?"
Anggukan kepala Marvin membuat geli karena gesekan dari surainya pada leherku.
"Kau sudah mengupayakan keputusan terbaik yang kau bisa dalam hidupmu. Jangan pernah bimbang. Atau kau akan kembali terjebak pada siklus yang menyakitkan."
"Terimakasih sudah membantuku keluar dari peliknya permasalahanku, Marv. Meski kau hanyalah orang asing yang baru ku kenal akhir-akhir ini. Dan semuanya terjadi begitu saja."
Marvin terdiam sejenak. Entahlah. Ia seperti merasakan sesak yang tiba-tiba merenggut oksigen di paru-parunya.
"Zee?"
"Kenapa?" Kepalaku menoleh kebelakang dan sedikit mendongak menatap lelaki yang juga memandangku.
"Bisa kau jelaskan padaku hubungan apa yang kita lakukan sekarang?"
"Kita hanyalah dua orang yang disatukan oleh keadaan. Aku membutuhkanmu untuk ketenangan jiwaku, dan kau membutuhkanku untuk pelampiasan hasratmu."
Senyum sumbang terbit di bibir lelaki itu. Jadi hanya sampai situ penilaian Zeline akan dirinya. Hanya sebatas lelaki yang membutuhkan wanita untuk melampiaskan hasrat. Dan entah kenapa ia tidak menyukai pendapatnya.
"Hanya itu menurutmu?"
"Hmm. Hanya itu."
Keadaan menjadi hening setelahnya. Keduanyanya tengah bergulat dengan pemikiran masing-masing. Terlebih Marvin yang merasakan lelucon besar dalam hidupnya. Hingga rasanya lelaki itu ingin marah. Tapi untuk apa? Bukankah yang dikatakan Zeline benar adanya? Tapi hati lelaki itu menolak gagasan tersebut.
"Seks di alam terbuka membuatku tak bisa merasa puas. Bagaimana jika kita melakukannya lagi?"
Aku pun pasrah ketika lelaki itu kembali memulai aksinya memasuki ki. Karena sejujurnya seks dengan Marvin membuat pikiranku sedikit rileks untuk tidak memikirkan permasalahan yang terjadi. Itulah sebabnya aku tak pernah menolak ajakannya meski aku tau apa yang sedang ku lakukan adalah sebuah kesalahan.
***
Mentari tampak tak malu-malu lagi memperlihatkan sinarnya pada bumi.
Sepasang bulu mata lentik bergerak perlahan ketika kenyadari cahaya mulai menusuk indra pengelihatannya.
"Engg~~" Perempuan itu mengeram pelan sembari sedikit melemaskan tubuhnya dengan cara meliukkannya. Dan entah mengapa tidurnya kali ini terasa begitu melelahkan dari biasanya. Bahkan tubuhnya terasa kaku sekali.
"Good morning, Baby..."
Rasa kantuk dan beratnya kelopak mata seketika sirna. Caroline kini telah sadar sepenuhnya setelah mendengar sapaan dari suara yang sangat familiar di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMODERATE (COMPLETED)
Literatura FemininaTidak ada yang tau bagaimana suatu kisah dimulai dan bagaimana akhir akan terjadi.