8. Terbakar

2.5K 255 39
                                    

Akhir pekan adalah waktu yang selalu ku tunggu untuk menikmati sejenak ketenangan sebelum kembali pada rutinitas yang padat dan melelahkan.

Pagi ini secangkir kaferin adalah pilihan pagiku untuk memulai hari. Ku seruput perlahan dengan menikmati pemandangan luar rumah yang terlihat dari jendela berukuran besar.

Hangat.

Kopi itu memberikan kehangatan pada tubuhku disaat udara pagi masih terasa menusuk kulit. Disaat hatiku telah mengalami musim dingin dan tak tau kapan akan mendapatkan musim semi.

Untuk sejenak aku menikmati kenyamanan ini. Menghilangkan beberapa hal yang membebani diriku dengan begitu berat. Meskipun aku tau, setelahnya aku akan kembali dengan masalah yang ku hadapi.

"Aku mencarimu," Ungkap sosok dari yang tiba-tiba datang arah belakangku. Dia berjalan memutar menuju kursi yang ada disampingku.

Aku tak menoleh ke arah dimana dia berada. Sebab aku lebih menyukai pemandangan dibalik jendela yang menenangkan dari pada kehadirannya.

"Tidurmu nyenyak?" Tanya Arthur yang kini telah mendudukkan diri di samping kiriku.

Dengan malas aku menoleh ke arahnya. Dan netraku menangkap sesuatu yang mencurigakan, yaitu pakaiannya yang tampak rapi di akhir pekan.

"Kau akan pergi?" Tanyaku lalu kembali menyeruput kopiku dengan tatapan lurus ke luar jendela.

"Ya, Zee. Ada pekerjaan mendadak yang membuatku harus pergi hari ini."

Bibirku tersenyum sumbang, namun ku tahan agar tidak begitu ketara.

"Di hari minggu?"

"Terdapat masalah darurat, Zee. Jadi aku harus segera kesana untuk melakukan peninjauan."

Kepalaku mengangguk tanpa niat. Mengiyakan meski aku tau yang diucapkannya hanyalah kebohongan.

"Hmm"

"Maaf tidak bisa menemanimu diakhir pekan ini." Ucapnya penuh sesal yang aku tau jika itu hanya kepura-puraan.

"Bukan hal yang baru bagiku. Aku sudah sangat terbiasa sendiri dirumah ini." Balasku tak peduli.

"Maaf."

"Cepatlah pergi. Sepertinya kau sudah ditunggu oleh teman kerjamu." Ekor mataku melirik pada ponsel yang terus berdering tanpa henti.

Sepertinya selingkuhannya sudah tak sabar ingin bertemu.

"Ponselmu bergetar terus."

Arthur ikut menbawa sorot matanya pada ponsel yang ada ditangannya. Oh, dia memang harus segera pergi.

"Baiklah, aku berangkat sekarang,"

"Hmm..." Dehemku acuh.

Arthur yang semula berdiri tak kunjung melangkahnya kakinya. Dia malah menatap sang istri dengan bingung.

"Kau tidak mengantarku?"

"Kau sudah bukan bayi lagi yang membutuhkan bantuan untuk melakukan hal-hal kecil. Lagian aku tidak memiliki alasan yang kuat untuk melayanimu seperti dulu."

Setelahnya Arthur pergi, dengan diam tanpa ada balasan lagi. Lelaki itu pergi dengan perasaan campur aduknya. Kenapa? Kenapa diperlakukan acuh seperti itu oleh Zeline rasanya sangat menyakitkan.

Tanganku mencengkeram gelas dengan begitu kuat bersamaan dengan emosi yang kiat memuncak. Aku marah. Tapi masih layakkah dia mendapatkan emosi dari perasaatku disaat seharusnya Arthur sudah tak lmendapatkan apapun lagi dariku?

IMMODERATE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang