27.Tidak Ingin Kau Merasakannya

1K 97 26
                                    

[ I M M O D E R A T E  🍷]

Sebuah jaket dipasangkan pada tubuhku. Menambah lapisan kain untuk menjaga suhuku agar tetap hangat disaat dingin menyerah pada malam hari.

"Kita akan lama berada diluar malam ini. Jadi kau harus memakai sesuatu agar tetap hangat."

Jemari Marvin menarik resleting jaket, menjadi posesif terhadap kesehatanku agar tidak melemahkan daya tahan tubuhku.

"Memangnya kita akan kemana,? Ku kira kita hanya akan mencari makan malam diluar."

Marvin membetulkan kerah jaketku. Merapikan dari sebelumnya yang terasa terbalik dan membuatku tidak nyaman.

"Akan ada festival lampion malam ini. Dan ku rasa sayang sekali jika melewatkannya."

Kini Marvin menatapku lurus. Memandangku dengan ekspresi wajahnya yang teduh.

"Apa akan ada banyak lampion yang menyala?" Tanyaku seperti orang bodoh yang tak mengerti apapun.

"Tentu saja. Lampion-lampion itu akan berpijar terbang di angkasa. Seperti kumpulan bintang yang menyinari langit malam dengan indah."

Seketika bola mataku ikut bersinar. Membayangkan bagaimana indahnya lampion-lampion itu menyala terang.

"Sepertinya akan menyenangkan. Aku tidak pernah melihat festival seperti itu."

"Kalau bagitu, kita harus membuat kenangan indah pada festival nanti." Balas Marvin membuat kepalaku mengangguk mantap.

Senyum kecil namun tulus kutunjukkan padanya. Sebuah senyum yang berartikan sebuah kelegaan atas secuil bahagia yang dia berikan padaku.

Beberapa waktu berlalu, akhirnya kami berdua telah sampai di tempat festival dilakukan menggunakan mobil Marvin. Suasana tampak sibuk dan ramai. Banyak masyarakat lokal berkumpul dan mempersiapkan lampion dengan beberapa persembahan yang entah untuk apa.

"Mengapa makanan dan hasil pertanian diletakkan disana,Marv?" Tanyaku dengan menunjuk sebuah arah yang menjadi pusat kerumunan manusia menggunakan tangan kiri. Sebab Marvin mengenggam jariku erat dan tak melonggarkannya sedikitpun.

"Itu adalah ritual yang selalu mereka lakukan," Jelas singkat Marvin yang membuatku mengerutkan dahi. Tak mampu mencerna dengan sepenggal jawaban yang membuat otakku sedikit kebingungan.

"Ritual? Ritual untuk apa? Kita tidak sedang melihat ajaran sesat kan, Marv?"

Gelak tawa diperlihatkan lelaki itu ketika mendengar pertanyaanku yang penuh dengan kegelisahan namun terlihat sangat bodoh.

"Tenanglah, Zee. Itu tidak seperti yang kau takutkan. Mereka hanya sedang menyampaikan rasa terimakasih pada dewi bulan yang telah memberikan berkah pada hasil bumi desa mereka."

Aku menggaruk kepala menggunakan sebelah tangan yang terbebas. Meskipun tidak terasa gatal, namun aku ingin menggaruknya. Mungkin itu sebagai caraku untuk berusaha mengerti terhadap penjelasannya.

"Aku tidak menyangka masih ada ritual seperti itu," Gumamku pelan namun masih terdengar oleh lelaki yang setia menggenggam tanganku.

"Itu namanya kepercayaan. Sesuatu yang telah ditularkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Meskipun jaman telah banyak berubah, tetapi mereka tetap berusaha mempertahankan apa yang telah mereka yakini sejak dulu. Dan bukankah itu adalah hal yang sangat baik?"

"Maksudmu?"

"Ya, karena setiap manusia tidak akan pernah bisa merasa bahagia ketika dia melupakan asal usulnya. Bagaimana nilai dan budaya yang dipegang. Sebab tanpa itu semua, manusia akan hilang arah ketika banyak hal baru yang datang hingga memporak-porandakan akal yang seharusnya tetap pada alurnya."

IMMODERATE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang