10. Melebur

2.4K 248 10
                                    

"Maaf sudah merepotkanmu lagi,"

Kini aku berbarik disebuah ranjang yang pernah sekali ku tempati dan berjanji tak akan kembali membawa tubuhku ke tempat ini. Akan tetapi pada kenyataannya aku menjilat ludahku sendiri.

"Santai saja, jika kau tidak nyaman aku bisa tidur di sofa depan."

"Jangan." Sahutku cepat. "Sangat tidak tau diri jika aku membiarkanmu melakukannya. Dan kau juga pasti akan melarangku tidur disana."

"Tepat sekali." Sahut pemuda itu cepat.

Suasana kembali hening. Entah karena canggung atau masing-masing dari mereka tengah sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

"Ehm--jika kau belum mampu menghadapi semuanya, kau bisa sementara berada disini," Ucap Marvin mencoba meruntuhkan tembok kecanggungan keduanya.

"Tapi aku harus mengajar,"

"Kau tau, itulah kenapa kata izin  diciptakan. Dan kita bisa menggunakannya ketika sedang tidak baik-baik saja untuk menghadapi dunia seperti biasanya."

"Aku harus professional, Marv. Dalam bekerja, kita tidak bisa mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan."

Lelaki yang menatap langit-langit kamar itu menghela napas pelan. "Percuma jika kau mencoba professional tapi berakhir tidak memberikan hasil yang maksimal. Jangan kepala batu, Zee. Karena aku mengkhawatirkanmu."

Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk melihat Marvin yang berada disampinngku dengan senyum tipis.
"Terimakasih sudah peduli padaku, disaat kita hanyalah orang asing yang baru saja saling mengenal."

"Asing atau tidak, bukan menjadi sebuah ukuran. Terkadang orang asing lebih bisa mengerti apa yang sedang kau rasakan."

Kepalaku mengangguk. Benar apa yang dia katakan. Sebab, seseorang terdekatku pun tak pernah mengerti diriku dan malah menghancurkanku.

"Hmm, kau benar," Balasku memyetujui."Selamat malam, Marv. Aku sudah mengantuk." Pamitku padanya.

"Malam, Zee. Mimpi indah."

***

Marvin mengerjabkan matanya karena mendengar sesuatu yang mengusik tidurnya.

Sebuah isakan tangis yang ditahan hingga terdengar begitu menyakitkan. Dan dia tau siapa ketika matanya sepenuhnya terbuka.

Wanita itu, dia kembali meloloskan air matanya yang telah lama ditahan. Tubuhnya yang seolah-olah kuat kini bergetar hebat karena kesedihan yang dirasa.

Zeline-- dia-- sudah terlalu lama berpura-pura kuat hingga pada akhirnya tak mampu untuk menanggungnya lagi.

"Zee, kau kenapa?" Tanya Marvin dengan suara seraknya.

Marvin menggeser tubuhnya mendekat. Tanpa berpikir panjang, dia membawa lengannya untuk memeluk tubuh ringkih yang sangat memprihatinkan itu. Dipeluknya cukup erat untuk memperikan ketenangan yang dia punya.

"Menangislah. Kau bisa menangis sebanyak yang kau mau,"

Setelahnya isakan itu berubah menjadi raungkan keras. Entah masalah apa yang dihadapi wanita didekapnya saat ini, tapi yang Marvin tau masalah itu adalah sesuatu yang besar.

"Tidak apa. Menangis bukan berarti lemah Zee, menangis lah sebanyak yang kau inginkan."

Wanita itu menangis pilu dengan menggelamkan wajahnya didekapan dada Marvin. Memeluk erat pinggang pemuda yang senantiasa membelai puncak kepala sang wanita.

Sebab Marvin tau, wanita itu--sedang dihancurkan kepercayaannya oleh semesta dengan begitu kejam.

Jiwanya sedang hancur, hatinya sedang remuk, dan hidupnya sudah tak memiliki tujuan lagi.

IMMODERATE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang