24. Dia Tidak Menyerah

2K 166 50
                                    


[I M M O D E R A T E🍷]

Meski sudah mencoba namun kerenggangan diantara mereka tak kunjung juga membaik. Tak ada kemajuan yang terjadi meski sudah sejauh ini ia berusaha.

Perempuan itu masih menjaga jarak. Memilih untuk waspada agar hatinya tak kembali terluka. Dan sangat sulit bagi Arthur untuk membuatnya kembali seperti semula.

Hanya obrolan singkat yang terjadi. Membicarakan hal-hal penting yang mereka rasa perlu untuk diungkapkan. Berbeda dengan dulu sebelum kebodohan membuat hidupnya berantakan.

Arthur melirik kearah kiri dimana dia berbaring. Ranjangnya sudah diisi oleh wanita yang dicintainya sekarang, namun entah mengapa ia masih merasakan hawa dinginnya.

Zeline berada disana. Namun kehadirannya hanya seperti sebuah pemenuh permintaan tanpa campur tangan ketulusan.

Kembali Arthur menatap langit-langit. Matanya berkaca ketika mengingat bagaimana dirinya tak pernah terlihat oleh sang istri. Bagaimana Zeline tak pernah menganggapnya ada.

Ia hampir menyerah. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk membuat Zeline kembali menjadikannya sebagai sandaran. Namun ia sadar memang tak mudah untuk melupakan kesalahan yang pernah dia berikan pada sang wanita.

Oleh karenanya, ia tidak akan berhenti. Lelaki itu akan menghadapi batu es yang sangat keras, ia akan melelehkannya meski hanya satu tangkai kayu yang dia punya.

"Aku akan pergi selama dua hari besok,"

Arthur tak berkedip. Bola matanya membola tak percaya atas sebuah kalimat yang sekarang membuat bibirnya ingin sekali melukis senyuman.

Bukankah, Zeline seperti tengah berusaha membagi diri dengannya?

Apakah--sang istri sudah mulai kembali membuka hati untuk dirinya?

Lelaki itu mempertahankan diri untuk tidak menampilkan senyum bodohnya. "Kenapa lama sekali?"

Hawa dingin yang menggelitik mendukung dirinya untuk bersikap biasa. Suara datar menjadi bukti bahwa Arthur berhasil mengendalikan diri. Menutupi kebahagiaannya yang baru saja merekah.

"Banyak data yang ku butuhkan untuk melengkapi penelitianku. Dua hari adalah waktu yang ku rasa cukup untuk memenuhi kekurangan itu."

"Dengan siapa saja kau akan pergi?"

Zeline tak langsung menjawab. Sebab Arthur harus menunggu beberapa saat sebelum mendengar suara wanita itu kembali.

"Aku tidak akan menjawab pertanyaan yang tidak penting. Dan ku rasa pertanyaanmu juga tidak memerlukan jawaban."

Arthur masih diam menatap langit-langit kamar. Sedangkan tangannya sibuk bergerak akibat ketidaknyamanan yang tiba-tiba saja mengusiknya.

"Maka aku tidak akan mengijinkanmu." Balasnya datar.

Kerongkongannya terasa dicengkeram kuat. Merasa sakit bahkan hanya untuk menelan ludah.

Wanita yang semula memunggungi kini mendudukkan diri dan menatapnya tak suka. Netranya menghunus tajam yang sungguh memberikan rasa nyeri pada hati lelaki itu.

"Aku mengatakan ini bukan untuk meminta ijin darimu. Kau bukan pada posisi yang bebas membatasi keinginanku." Ucap Zeline ketus. Matanya masih menampilkan sebuah kebencian didalam sana.

Lelaki itu tersenyum tipis. Sangat tipis hingga seperti sebuah senyum kepedihan akibat ekspektasi yang hanya semu belaka. Ia bergerak ikut duduk dan menghadap kearah sang istri.

"Aku masih menjadi suami sah mu, Zee. Dan jika kau lupa, kita berdua sepakat untuk memperbaiki hubungan pernikahan ini."

Dengusan jengah dibuat oleh wanita itu. "Kau yang menginginkannya. Jadi berhenti menyebut kita, karena tidak pernah ada aku disana."

IMMODERATE (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang