Part 11

2.1K 147 16
                                    

Halo temen2 apa kabar?

Selalu stay di cerita ku ya

Jangan lupa vote, komen and share

Happy reading <3

"Hal yang paling sulit untuk diterapkan adalah berdamai dengan rasa sakit."

Leszahra
.
.
.

  "Masak apa?"

  Aku menoleh ketika merasa ada sebuah suara yang mengusik pendengaranku ternyata Mbak Nadin sedang berjalan kearahku dengan senyum yang selalu ia terbitkan untukku, bedanya kini aku membalas senyuman itu jika dulu aku hanya menatap datar kepadanya.

  "Cuma nasi goreng aja, Mbak, enggak apa-apa 'kan?"

  Jika kalian bertanya, apa aku langsung ikhlas begitu saja menerima benang takdir ini? Jawaban ku adalah tidak, sebab aku masih belajar untuk ikhlas menerima semuaya meski sayatan-sayatan kecil masih begitu terasa, tidak munafik aku masih sakit tapi mencoba untuk menampiknya.

"Mbak boleh minta tolong enggak? Kalau kamu enggak mau enggak apa-apa." Ku lihat Mbak Nadin begitu ragu untuk mengatakan hal tersebut.

  "Emang apa? InsyaAllah Sabh bantu."

  Setelah aku berucap demikian bibir Mbak Nadin merekah bahagia seperti yang ia minta dariku ini adalah hal penting.

  "Mbak pengen makan tumis cumi buatan kamu," cicit Mbak Nadin membuatku melotot seketika, namun pandangan mataku tidak lama kemudiam merosot kepada perutnya yang sudah masih rata itu.

  "Ternyata kamu mau cicipi masakan aunti, ya?" ucapku sambil sedikit terkekeh.

  "Mbak, Sabh boleh megang enggak?" Bukan apa aku takut jika Mbak Nadin tidak nyaman jika perutnya disentuh oleh sembarangan orang.

  Mbak Nadin tersenyum kemudian mengambil tangan kananku. "Tentu boleh karena kamu calon ibunya juga."

  Pandangan mataku yang tadi menatap perut Mbak Nadin kini spontan menatap mata wanita dewasa itu. Entahlah, aku tidak tahu apa yang kini aku rasakan tapi yang jelas ketika Mbak Nadin berkata demikian dadaku sedikit tidak normal rasanya.

  Mencoba mengabaikan perkataan ibu hamil tersebut aku kembali fokus ke perut Mbak Nadin serta mengelusnya lembut.

  "Mbak, udah terasa tendangannya belum?" tanyaku polos sambil menatap Mbak Nadin yang terkekeh karena pertanyaanku.

  "Belum dong 4 minggu aja belum genap."

  Mendapat penjelasan dari beliau aku mengangguk, aku kira sensasai seperti itu akan datang mulai dari minggu pertama kehamilan ternyata tidak.

  "Kenapa, kamu juga pengen punya anak?"

  Aku terdiam ketika Mbak Nadin berkata demikian, bohong rasanya jika aku wanita yang sudah bersuami tidak menginginkan sosok buah hati diantara kami namun aku masih kuliah takut jika tidak bisa membagi waktunya.

Aku menggelengkan kepala. "Nanti aku lihat punya Mbak aja," jawabku sambil terkekeh padahal sebenarnya ingin sekali aku berkata 'iya, aku sangat ingin tapi Mas Azzam katanya belum siap karena aku masih kuliah'.

  Dulu perjanjian itu datang karena aku merasa belum siap memberinya kepada Mas Azzam dan aku rasa butuh waktu cukup lama untuk berani memberi hak tersebut, ternyata itu tidak seperti yang aku pikirkan sebab aku juga ingin menimang bayi yang berasal dari rahimku sendiri, namun tidak mungkin aku mengatakan hal tersebut kepada mas Azzam kasihan dia nanti biaya persalinannya dua kali lipat karena Mbak Nadin sedang hamil saat ini.

Tentang Sebuah Rasa (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang