BERKHIANAT

815 30 11
                                    

Olivia sedang dalam perjalanan menuju rumah Vanya diantar oleh Agam. Semalam Ansel tidak pulang membuat Olivia risau sekaligus merasa bersalah atas kejadian kemarin sore— disaat Damar mencium Olivia dan Ansel melihatnya.

Setelah menempuh perjalanan semalam 25 menit, mereka sampai di rumah Vanya. Hanya menatap luar rumah Vanya saja sudah membuat dada Olivia sesak.


Agam menggedor-gedor pintu bercat hitam itu dan tanpa memperdulikan sekitar dia berteriak memanggil nama Vanya dan Ansel.

"Jangan berisik nanti dimarahin pak RT!" tegur Olivia.

"Rumah pak RT jauh dia gak bakal denger," ucap Agam.

Pintu rumah itu terbuka menampakkan seorang perempuan cantik. Vanya tersenyum manis pada Agam dan Olivia. "Ada apa?"

"Ansel ada?" Olivia langsung bertanya.

"Ada, ayo masuk kedal--"

Agam menarik tangan Olivia menerobos masuk kedalam rumah Vanya. Mereka bisa langsung bertemu Ansel di ruang tengah yang sedang rebahan di sofa.

"Ngapain lo berdua kesini?" Ansel menatap datar pada Olivia.

Agam merasakan genggaman tangan Olivia semakin erat menggenggam tangannya. "Seharusnya kita nanya sama lo! Kenapa lo semalam gak pulang ke apartemen?"

"Ada urusannya sama lo?"

"Heh bodoh! Lo sadar ga sih semalam tidur di rumah si Vanya? Berduaan! Gimana kalau tetangga si Vanya tau lo nginap disini!"

"Paling di grebek sama warga," acuh Ansel.

"Nah itu masalahnya! Itu bisa jadi fitnah, lo tau ga fitnah itu lebih kejam daripada mencuri mangga milik tetangga!" cerca Agam.

"Udah mendingan lo semua pulang," ucap Vanya menengahi sebelum terjadi perkelahian.

Ansel melenggang pergi begitu saja tanpa mengajak Olivia untuk pulang bareng. Agam tak tinggal diam, dia mencegah mobil Ansel pergi di depan gerbang rumah Vanya.

"Minggir lo, mau gue tabrak?!"

Agam membuka pintu mobil dan memaksa Olivia untuk masuk. "Sesama sepupu harus akur. Baik-baik ya pulang berdua, kalo udah sampe rumah kabar gue ya, Olivia!"

🦋🦋🦋

Olivia memejamkan matanya dengan tangan kanan yang memegangi dada. Kaget. Ansel, menutup pintu kamar sangat kencang. Dengan sisa keberanian, Olivia masuk kedalam kamar untuk menenangkan Ansel.

"An—"

"Keluar!"

Olivia terdiam bergeming. Bentakan dari suaminya membuat nyali Olivia menciut, kedua tangannya bertautan dingin. Masih tidak beranjak pergi, Olivia menatap takut pada Ansel yang tengah mengambil baju dari dalam lemari.

Ansel memasukkan baju-bajunya kedalam ransel, cowok itu menatap sebentar pada istrinya lalu berlalu begitu saja. Namun, suara Olivia membuat langkahnya terhenti di ambang pintu.

"Kamu semalam ngapain aja sama Vanya di rumahnya?"

Ansel menatap penuh arti pada Olivia. Ansel tak menyangka jika Olivia akan berani bertanya seperti itu kepadanya. Apakah Olivia sudah menyimpulkan hal-hal buruk tentangnya?

"Lain kali kalau kamu ga pulang ke apartemen itu bilang biar aku ga nungguin kamu."

"Lo juga kalau mau mesra-mesraan sama pacar jangan diluar apartment, malu sama cctv!"

"Aku ga punya pacar!"

"Murahan banget jadi cewek mau aja di cium sama cowok lain." Olivia menampar Ansel dengan penuh kesadaran sedangkan Ansel tidak menduga Olivia akan menamparnya.

"Jaga ya omongan kamu! Dasar brengsek!"

"Kalau gua brengsek, lo murahan."

Olivia merasakan sesak menghantam dadanya. Perkataan Ansel tak lebih seperti sebuah belati yang menusuk tajam hatinya dan mengoyaknya. Sakit.

"Aku bukan murahan!"

"Kalau lo engga murahan, lo bakalan nolak di cium sama cowok itu!" Ansel menatap sepenuhnya pada Olivia. "Inget lo udah punya suami, Olivia!"

"Kamu juga udah punya istri! Jadi tolong jangan berkhianat!" Ansel tertampar.

Berkhianat. Kata itu seperti sudah melekat di tubuhnya, selama ini Olivia menilai bahwa dia berkhianat? Tapi kembali lagi kepada keegoisan, Ansel masih cukup egois dan gengsi untuk mengalah dan merasa bersalah.

"Gue ga akan berkhianat selagi lo gak mulai duluan!" setelah mengatakan itu Ansel benar-benar pergi meninggalkan Olivia dengan rasa sakit di hatinya.









A.N.S.E.L.A.L.E.X.I.A

ANSELOVIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang