KERJA?

648 22 0
                                    

Ansel menginjakan kakinya memasuki kantor sang papah, menggunakan celana jeans sobek di bagian lutut, jaket Tigerangers, bandana hitam—terikat di tangan kirinya membuat seluruh pekerja kantor itu menatap pada Ansel. Penampilan Ansel yang terbilang cukup menggambarkan bahwa dia adalah anak gang motor menimbulkan rasa cemas para pegawai.

"Eh pak mau kemana?" tanya salah satu resepsionis membuat langkah Ansel terhenti.

"Mau ketemu sama bokap gue," jawab Ansel. "Bapak Danu namanya, mbak kenalkan?"

"Eh, oh maaf mas.. pak Danu lagi ada meeting sama klien, kalau mas mau nunggu silahkan tunggu di sofa sana mas." Ansel mengikuti arah pandang resepsionis tersebut lalu menggulirkan matanya menatap kembali resepsionis tersebut.

"Ruangan papa saya di lantai berapa? Saya mau nunggu di sana."

"D-di lantai dua mas."

Ansel segera pergi menuju lift lalu tak berselang lama laki-laki tersebut sudah sampai di lantai dua, ada banyak pekerja yang menatap Ansel. Kehadiran Ansel yang sangat asing membuat mereka semua bertanya-tanya dan belum lagi persoalan penampilan Ansel.

Ansel masuk ke ruang kerja sang papa membuat semua mata tertuju padanya.

"EH PAK!?"

"Apa? Bapak manggil saya?"

"Pak mau ngapain masuk ke ruangan bos saya?"

"Maaf ya pak, bos bapak itu papa saya. Dan saya bukan bapak-bapak, saya masih delapan belas tahun." ujar Ansel menutup pintu. Ruang kerja pribadi Danu di kantor sangat luas dan dingin.

Ansel merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Memejamkan matanya— menikmati kenyamanan sesaat ini. Tidur Ansel terusik karena mendengar suara pintu tertutup.

"Gimana mau jadi orang sukses kalau kerjaannya rebahan terus?"

Ansel membuka matanya, melirik Danu yang tengah duduk di kursi kebesarannya. "Baru juga rebahan, Pah."

"Kamu ke sini sendiri?"

"Iyalah! Masa Ansel harus ajak temen." Ansel beranjak duduk menatap lurus kepada sang papa. "Pah, mau ngapain nyuruh Ansel ke sini? Mau bagi-bagi harta warisan ya? Wah! Ansel bisa beli motor baru!"

Sebuah buku majalah melayang mengenai kepala Ansel. Danu memang menyebalkan. Ansel meletakan majalah itu di meja, dia duduk di kursi berhadapan dengan sang papa.

"Jadi bapak Danu yang terhormat apa keinginan anda menyuruh saya untuk datang kemari?"

Danu berdecih. "Ga cocok kamu ngomong pake bahasa baku gitu."

"Yauda pah to the point," jengah Ansel ingin cepat-cepat pulang. Danu menyodorkan satu berkas dan pulpen membuat pemuda itu mengerutkan kening.

"Tanda tangan kerja."

"Hah?"

"Tanda tangan berkas ini agar mulai besok kamu kerja di kantor papah,"

"Hah?"

"Sejak kapan kamu bolot?"

"Bukan bolot, tapi speechless," ungkap Ansel. "Ansel masih sekolah belum punya pengalaman sama sekali, nanti aja ya, pah.."

"Ansel kamu pikir orang-orang yang kerja disini awalnya udah ada pengalaman? Belum mereka semua juga awalnya ga tau apa-apa," ujar Danu. "Kamu itu harus sadar posisi."

Ansel celingukan melihat posisi duduknya. "Ansel, bener kok posisi duduknya."

"Serius Ansel!"

"Iya serius iya. Terus gimana?"

ANSELOVIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang