"Jangan... jangan.... jangannnnn..."
"Gio, hei Gio bangun!" Anta mengguncang tubuh Gio yang bercucuran keringat di seluruh wajah nya sedari tadi adiknya itu meracau tak karuan, Dan menyebut nama seseorang yang tak asing di telinga nya. Gio membuka matanya dengan nafas memburu ia menatap sekeliling dan hanya mendapati Anta yang menatap nya khawatir.
"Lo kenapa? Mimpi buruk? Nih minum dulu!" Anta menyodorkan segelas air putih yang langsung di terima oleh Gio tanpa sepatah kata pun.
"Gue laper beliin martabak keju sama coklat dong bang!" Ujarnya setelah lama terdiam.
"Lo mimpi buruk karna laper?" Tanya Anta heran dan Gio hanya mengangguk, tanpa bertanya lagi Anta keluar untuk membeli pesanan Gio. Tak lama dari Anta keluar dokter Fauzan masuk ke kamar inap Gio.
"Gio, gimana sekarang sudah baikan?" Tanya dr. Fauzan berbasa basi
"Baik!" Jawab Gio tak menatap dokter Fauzan. Dr. Fauzan menghela nafas lalu berkata,
"Kenapa kamu nyuruh saya untuk tidak bilang yang sebenarnya!"
"Terus kenapa dokter ngelakuin apa yang Gio suruh?" Tanya balik Gio sambil mengalihkan tatapannya ke arah dr. Fauzan.
"Karna kamu pasien saya. Saya harus menjaga rahasia pasien saya tapi ini tidak benar Gio jika kamu terus menyembunyikan penyakit mu orang tua mu gak akan pernah tau kondisi kamu. Kamu akan merasakan sakit itu sendirian tanpa ada dukungan orang-orang tersayangmu, Kamu tidak lihat bagaimana mereka mengkhawatirkan kamu saat kamu mimisan tadi? Mereka begitu panik Gio." Jelas dr. Fauzan.
"Nah, itu dokter tau sendiri apalagi kalo mereka tau bahwa anak nya mengidap penyakit yang bahkan obat nya belum pasti di temukan. Akan se-syok dan sekhawatir apa mereka jika tau. Dokter mau papa saya serangan jantung terus kenapa-napa? Dokter mau tanggung jawab? Yang saya pikirkan keluarga dan teman-teman saya dok. Gio gak mempermasalahkannya tentang penyakit ini karena mungkin udah takdir Gio tapi..."
"Tapi Gio lebih khawatir dengan orang-orang disekitar Gio. Mereka gak harus tau cukup dokter saya dan tuhan yang tau." Ucap Gio panjang lebar walau hatinya sesak seperti ada batu besar yang menimpanya Gio menyampaikan nya dengan senyuman yang bahkan orang tau itu adalah senyuman menyakitkan.
"Baiklah kalo itu mau mu saya akan membantu mendukung setiap apa yang kamu ambil disetiap langkahnya. Jika ada apa-apa hubungi saya!" Gio mengangguk lalu dokter Fauzan berpamitan karena harus memeriksa pasien lain.
Saat keluar dokter Fauzan menatap Gio yang melamun dari balik kaca pintu.
"Kamu gak tau apa yang dirasakan oleh orang di sekitarmu saat hal buruk terjadi padamu. Sakit, penyesalan dan kecewa akan selalu menghantui mereka karena terlambat tau. Karena saya sudah mengalami nya Gio. Saya akan menjaga mu seperti adik saya!!" Dokter Fauzan menatap sendu Gio lalu ia berlalu meninggalkan tempat itu.
Dilain tempat Jeno berjalan sendiri dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya ia berada di area pemakaman umum. Ia menatap satu batu nisan yang sudah lama tertancap disana, menatap nama yang selalu jadi bayang-bayang sahabatnya.
"Hai Kal... Apa kabar? Sorry gue jarang banget jengukin lo. Gue gak sesering Gio mengunjungi lo. Tapi asal lo tau Kala gue seneng punya temen kayak lo yang sama ceria nya kayak Gio. Sama laknat dan nyebelinnya kayak Gio. Tapi entah kenapa gue selalu gak suka kalo Gio punya temen baru." Jeno berjongkok sambil memegang nisan itu.
"Saat lo di kenalin ke kita, gue tau kalo lo nyadar gue kurang suka sama lo tapi lo selalu berusaha untuk biasa aja karna ngehargai Gio. Gue juga nyesel selama lo masih ada kita jarang komunikasi jarang nongkrong bareng gue nyesel dengan semua itu. Gue ini gak bisa berbaur dengan orang baru, Kal. Asal lo tau gue cuman punya temen Gio, Vale dan Devan doang yang deket selebihnya hanya seperti angin lalu yang berhembus lalu hilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sergio | Haechan
Teen Fiction"Jen lariii" Gio menarik tangan Jeno mereka berlari tanpa arah bahkan Gio meninggalkan Motor sport nya di pinggir jalan. Mereka memasuki pemukiman warga dan terus berlari sesekali Gio menatap kebelakang memastikan orang-orang itu masih mengejar atau...