Segala hal di dunia ini perlu yang namanya batasan. Batasan agar tidak mencampuri urusan orang lain, batasan agar tidak menyakiti hati orang lain, dan batasan agar dapat memperjelas sebuah hubungan romansa. Mereka melakukan itu demi kenyamanan hidup di dunia yang keras ini.
Tapi apakah batasan itu sepenuhnya cara yang baik?
Di depannya saat ini ada seorang gadis dengan senyum merekah indah, berdiri di samping seorang laki-laki yang juga dikenalnya. Mereka berbincang, tertawa, dan saling menyentuh lengan satu sama lain untuk meminta perhatian masing-masing.
Layaknya melihat orang lain yang tidak dikenalnya, Jason Alvaro masih belum memercayai bagaimana Nayara bersosialiasi dengan banyak orang begitu baik tanpa merasa risih. Gadis itu seperti bukan orang yang ia temui di tahun-tahun lalu.
"Lu putusin buat ketemu Sesilia jadinya?"
Jason tersentak ketika Farrel Alvaro tiba-tiba duduk di samping kursinya, tangannya terangkat memanggil pelayan untuk memesan minuman di kelab langganan mereka.
"Buat apa? Gak ada gunanya," kata Jason menjawab pertanyaan Farrel mengenai Sesilia yang menghubungi Jason dan meminta bertemu.
"Lu gak penasaran kenapa dia milih pergi di hari pernikahan kalian?" Farrel mengerutkan dahinya heran dengan sikap Jason entah saat dirinya ditinggal di pelaminan maupun detik ini. Laki-laki itu bahkan tidak terlihat ingin tahu penjelasan dari sisi Sesilia yang seharusnya perlu ia ketahui. Penyelesaian itu perlu dilakukan, selain untuk membereskan masalah, penyelesaian bisa juga sebagai media untuk melupakan lebih cepat.
"Itu pilihan dia. Dari awal dia gak percaya sama gue, terus buat apa gue cegah atau nyari tau alasannya? Cuma buang-buang waktu aja," balas Jason seraya menegak minumannya dalam sekali teguk. Bohong sebenarnya, ada setitik perasaan ingin bertemu dan bertanya langsung, namun kekecewaaan sudah menutup kemungkinan pertemuan itu harus dilakukan. Jauh lebih baik seperti ini, toh kehidupan Jason yang sempat menghilang karena gadis itu sudah kembali lagi—meskipun banyak perubahan besar.
Farrel mengangguk-ngangguk. "Bener juga sih," gumamnya. "Yaudahlah yang menurut lu baiknya aja, kalau emang lu gak mau ketemu ya gak perlu. Dia bahkan gak berhak minta maaf setelah apa yang dia lakuin sama keluarga kita, terutama orangtua lu," ucap Farrel lagi.
"Omong-omong, apa lu nyadar kalau Nayara agak berubah?" Farrel mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk ke arah Nayara yang berdiri di depan meja bartender bersama Henry, Grace, Lily, dan kekasih Farrel, Celine—meskipun Farrel lihat-lihat, Nayara cenderung lebih asyik mengobrol dengan Henry tanpa merasa canggung.
"Lu nyadar itu juga?" tanya Jason. Sudah ia duga kalau ini bukan hanya sekadar anggapan pribadinya saja.
"Mm," Farrel mengangguk mengiyakan. "Yang gue liat nih ya, lu bukan pusat dunianya lagi," ucapnya.
Jason terdiam, ia mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. "Hah?"
Farrel tersenyum. "Iya, lu bukan pusat dunianya lagi." Ia mengulang. "Mungkin itu sebabnya manusia mudah berubah, saat mereka memfokuskan hidupnya pada sesuatu, seketika semuanya berbeda cuma dalam satu detik."
Bukan pusat dunia Nayara lagi. Ada rasa sesak sekaligus tidak rela ketika Farrel menegaskan semuanya begitu gamblang tanpa ada yang salah. Saudaranya benar, Jason juga merasa kalau dirinya di hidup Nayara tidak sama seperti dulu atau lebih tepatnya Nayara tidak memperlakukannya seperti dulu.
"Farrel," panggil Jason pelan.
"Apaan?"
Jason menatap Nayara yang tengah mengangguk-nganggukan kepala mendengarkan dengan saksama apa yang sedang dikatakan Henry padanya. "Menurut lu, apa ada persahabatan abadi antara perempuan dan laki-laki? Gue mulai bingung sama diri gue sendiri," ujar Jason.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Did I Fall in Love With You (END)
General FictionPesona Jason Alvaro ternyata mampu menembus benteng Nayara Pratista yang ia buat sejak dulu. Nayara pikir ia tidak akan mungkin mencintai tetangga sekaligus sahabatnya sendiri. Bagaimanapun juga Jason bukan orang yang pantas dicintai perempuan mana...