20. SATYA

792 119 24
                                    

°

°

°

°

Gue berdiri mondar-mandir dengan gelisah, menunggu kedatangan Dewa di depan studio. Semenjak gue mengumumkan berita kalau hendak menikahi Jovita di rumah Jae tempo hari, anggota termuda kami itu terkesan menghindari gue. Beberapa kali gue coba menghubunginya, tapi Dewa selalu saja punya alasan untuk menolak. Sedang bimbingan lah, ngerjain revisi lah, lagi kumpul sama temen kampusnya lah atau apalah. Pokoknya ada aja gitu alasan dia buat nolak ajakan gue ketemu.

Tapi hari ini akhirnya kita bisa bertemu, dikarenakan anggota Enam Hari semuanya harus berkumpul di studio. Ada beberapa hal yang harus kita bahas untuk rencana perilisan album baru kami. Memikirkan hal ini membuat gue mendadak pening.

Ya Tuhan, boleh tidak kalau hamba mengeluh saat ini?

Lama melamun, akhirnya mobil Dewa masuk ke area studio. Gue langsung bernapas lega dan menegakkan tubuh, saat mobil itu sudah berhenti gue langsung mendekat ke arahnya. Dewa keluar tak lama setelahnya.

"Eh, kaget!" ucapnya reflek, terkejut melihat keberadaan gue, "lo nungguin gue, Bang? Kata anak-anak lo udah nyampe dari tadi?"

"Iya, gue nungguin lo."

"Ya ampun, gue jadi malu ditungguin gini."

Meski Dewa mengeluarkan candaan, tapi gue tahu dari ekspresinya masih terlihat berbeda dari biasanya. Terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menutupi perasaannya yang sesungguhnya. Apakah gue jahat karena sudah menghancurkan kebahagiaan adik gue sendiri? Meski adik itu bukan adik kandung gue, tapi bagi gue dia benar-benar sudah gue anggap sebagai adik gue sendiri.

Gue menghela napas. "Gue terpaksa nungguin lo gara-gara lo menghindar terus pas gue ajak ketemu." Kami kemudian berjalan beriringan masuk ke dalam studio.

Dewa menggeleng tegas sambil mengibaskan sebelah tangannya. "Apaan, enggak ya, Bang. Gue beneran sibuk, yang sibuk nggak cuma Bang Brian, gue juga. Sibuk bimbingan sama revisi tuh capek, Bang, lo tahu sendiri kan gimana rasanya? Gini-gini gue juga pengen jadi sarjana macem kalian."

Gue menghela napas lalu masuk ke dalam lift. "Tapi sikap lo ke gue beda, Wa."

"Cuma perasaan Bang Satya aja, gue B aja tuh."

Gue kembali menghela napas lalu memasukkan kedua tangan gue ke dalam saku jaket. Gue tahu kalau kalau Dewa sedang berbohong dan mencoba menutupi perasaannya.

"Sorry, Wa," ucap gue.

Gue nggak tahu harus ngomong apaan selain ngomong ini.

"Apaan sih, Bang? Lo nggak ada salah sama gue."

"Tapi, Wa."

"Bang, gue nggak mau bahas ini. Lo nggak perlu ngerasa bersalah sama gue, kalau emang lo serius mau nikahin Vita. Gue mundur, karena emang itu yang dia cari."

Gue terpaku. Tatapan mata Dewa terlihat berbeda. Gue tidak yakin dengan apa yang sedang ia rasakan saat ini, tapi yang jelas seperti ada perasaan terluka yang amat dalam. Terlihat seperti habis ditolak. Ini Dewa nggak habis ditolak Jovita gara-gara gue udah kamar dia kan?

"Lo bener-bener serius kan, Bang? Lo nggak bakal mainin dia kan?"

Gue diam.

"Bang, lo nggak boleh sakitin dia. Karena kalau sampai itu terjadi, gue nggak bakal tinggal diem. Gue bakal rebut dia dari lo dan gue bakal jadi orang yang pertama ngehajar lo. Paham?"

Anjir, kok keliatannya Dewa sayang banget sama Jovita. Kalau begini gimana gue mau nikahi Jovita? Jahat nggak sih gue kalau sampai tetap ngelanjutin ini? Tapi kalau gue batalin rencana ini, bukankah sama aja? Gue juga bakal keliatan jahat sama Jovita?

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang