38. SATYA

742 120 10
                                    

°

°

°

°

Gue hanya mampu mengerutkan dahi bingung saat melihat perubahan Jovita yang tiba-tiba menangis begini. Ragu-ragu gue berjalan mendekat ke arahnya.

"Jovita, kamu kenapa? Aku bikin salah apa?" tanya gue khawatir.

"Gue bilang nggak usah pedulikan gue. Keluar lo!" usirnya galak.

Gue mendadak ketakutan saat mendengar usirannya yang bernada galak. Mau tidak mau, akhirnya gue langsung keluar kamar dengan pasrah. Gue harus ngapain biar Jovita nggak ngambek lagi begini ya?

Ting Tong Tong Tong

Buru-buru gue langsung menuruni anak tangga saat mendengar suara bell.

Saat gue membuka pintu gerbang, tidak ada mobil di sana. Keempat anggota Enam Hari berdiri di sana sambil melambaikan tangan menyapa gue.

"Hai, Bang Sat, perut gue udah gue kosongin nih. Siap menampung semua stok makanan di rumah lo."

Tidak perlu gue jabarkan, kalian pasti tahu kan itu suara siapa? Benar, itu suara milik Brian.

Di samping Brian, Wira langsung menyahut dengan nada sewot. "Kosong apaan, Bang? Lo abis makan mi ayam ya tadi."

"Mi ayam doang mana berasa buat perut Brian, Wir?" sahut Jae.

Dengan semangat Brian langsung mengangguk, membenarkan.

"Bang Danu mana?" tanya gue heran saat tidak menemukan mobil di depan gerbang.

"Lagi ke alfa, beli rokok. Paling bentar lagi ke sini," jawab Jae.

Gue menghela napas panjang sambil memijit pelipis gue.  "Hari ini kita gagal ngumpul dulu ya?"

"Kenapa?" tanya Jae heran.

Gue menghela napas sambil menyugar rambut ke belakang. "Jovita lagi ngambek, suasana rumah lagi nggak bagus. Besok aja ya?"

"Lah, gagal makan-makan dong kita?" Brian langsung mendesah kecewa, kedua bahunya langsung terkulai lemas.

"Gagal, Bri, sorry, ya," ucap gue menyesal.

"Emang lo abis ngapain sampai dia ngambek?" Lagi-lagi Jae yang bertanya dengan heran.

Gue menggeleng frustasi sambil berkacak pinggang. "Enggak tahu lah, perasaan nggak habis ngapa-ngapain. Tiba-tiba jutek terus nangis, ini gue juga lagi bingung gimana bujuknya."

"Waduh, susah juga nih," guman Jae.

"Jadi sia-sia kita ke sininya?"

Dengan ekspresi penuh penyesalan, gue mengangguk. "Iya, sorry, ya. Gue janji--"

"Enggak profesional."

Gue langsung menghentikan ucapan gue saat mendengar gumaman Dewa. Pandangan kami langsung tertuju pada anggota paling muda dalam grup kami.

"Wa," tegur Brian.

Dewa terlihat tidak mempedulikan Brian, tatapan mata tajamnya terfokus pada gue. Ia tertawa sinis. "Gue kecewa sama lo, Bang. Yang punya kegiatan lain di sini nggak cuma lo, ya, Bang, yang punya masalah juga bukan cuma lo doang. Gue sama anggota yang lain juga punya kesibukan maupun masalah, tapi seenggaknya kita coba untuk tetep ngumpul. Tapi lo? Gara-gara lo lagi ribut sama istri lo, kita yang harus ngerasain efeknya? Gue tanya udah berapa sering lo mangkir dari jadwal yang udah kita tentuin?" serunya penuh emosi.

Mendengar luapan emosi Dewa, gue hanya mampu menutup bibir gue rapat-rapat. Apa yang dikatakan Dewa mungkin ada benarnya.

"Gue capek, Bang. Tapi kenapa harus kita yang memaklumi semua keadaan lo? Kenapa nggak lo aja yang berusaha nyesuaiin kita? Di sini lo leader kita, Bang, lo pemimpin kita. Selama ini gue selalu menghormati lo karena emang lo selalu melaksanakan tugas lo sebagai pemimpin yang baik. Tapi sekarang gue ngerasa lo nggak melaksanakan tugas dengan baik, lo lalai dengan tugas lo, Bang. Lo nggak bisa serakah, pilih salah satunya. Tinggalin pabrik atau tinggalin kita!"

"Wa, lo kalau ngomong jangan sembarang dong," protes Wira, "lo pikir Enam Hari ada karena siapa?"

Gue menghela napas sambil memijit pelipis gue yang mendadak pening. Astaga, kenapa jadi runyam begini?

Suasana mendadak tegang dan canggung. Gue bahkan bingung harus bereaksi bagaimana. Dewa benar, nggak seharusnya gue serakah untuk tetap menjalankan keduanya. Tapi masalahnya, gue tidak sedang dalam kondisi bisa memilih. Kalau bisa memilih, tanpa berpikur panjang pun gue jelas akan lebih memilih untuk ngeband.

"Wir, lo diem dulu. Jangan ikut terbawa emosi," ucap Jae berusaha menengahi. Ia menghela napas lalu beralih pada Dewa, "Wa, gue tahu lo lagi capek dan mumet mikir skripsi. Tapi nggak gini caranya ngeluapinnya, lo tahu sendiri posisi Satya nggak sesederhana itu. Satya juga lagi mumet sekarang, tanggung jawab yang dia pikul besar, Wa. Lo pikir gampang harus ngurus pabrik dan grup kita? Ini juga nggak mudah buat dia, Wa. Kita sebagai temen dan sesama rekan tim bisa kan bantu support dia? Jangan malah jatuhin begini?"

"Jae, udah! Dewa nggak sepenuhnya salah. Apa yang diomongin nggak sepenuhnya salah, ada benernya juga."

Gue akhirnya buka suara, kepala gue benar-benar rasanya seperti mau meledak sekarang.

"Iya, gue tahu, Sat, omongan Dewa emang ada benernya juga. Tapi cara dia ngungkapinnya yang kurang tepat. Gue paham apa yang dirasain Dewa, Sat, karena munafik kalau gue bilang gue nggak ngerasain apa yang dia rasain. Tapi kan ya nggak begini caranya."

Gue kembali diam karena enggak tahu harus bereaksi bagaimana. Hingga tak lama setelahnya mobil Bang Danu datang. Ia menghentikan mobil dan langsung turun tak lama setelahnya.

"Ada apaan nih? Kok gue perhatiin dari jauh kayak nggak enak banget suasananya."

"Kita batal kumpul, Bang, ayo pulang," ucap Dewa mewakili. Tanpa berpikir panjang ia langsung bergegas masuk ke dalam mobil.

"Dewa kenapa sih? Nggak biasanya dia begini?" keluh Wira dengan tatapan herannya.

"Tahu, bikin emosi aja. Kan gue jadi makin laper lagi," gerutu Brian ikut-ikutan.

Di sebelahnya Wira langsung menatapnya tajam. "Itu mah emang dasar perut lo aja yang laperan, Bang," decaknya kesal.

"Lah, kenapa jadi nyalahin perut gue. Dewa yang salah, Wir, Bang Jae aja bilang gitu kan tadi? Eh, bukan salah, cuma kurang tepat aja."

Kini giliran Jae yang berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Emang yang salah di sini perut lo, Bri."

"Jahat banget kalian. Dah lah, gue ikut ngambek juga kalau gini ujungnya."

Sambil memasang wajah pura-pura merajuk, kini giliran Brian yang masuk ke dalam mobil.

"Terus ini beneran nggak jadi ngumpul kita-nya?"

Wira dan Jae langsung menggeleng. Gue hanya mampu mengucapkan 'sorry, Bang' dengan nada penuh penyesalan.

"Udah, nggak usah terlalu ngerasa bersalah, Sat. Dewa cuma lagi capek aja, ntar juga udah lupa sendiri. Lo sekarang masuk, bujuk bini lo. Mau gue kasih tips nggak biar Jovita langsung luluh?"

Gue tidak bisa menyembunyikan raut wajah penasaran gue. "Apa itu?"

"Bawa dia ke surga dunia, Sat. Kasih service terbaik lo, gue jamin Jovita langsung luluh. Mau cewek atau cowok kita tuh sama aja, cuma seringnya cewek gengsi sama malu-malu aja. Aslinya ya mau banget."

Gue menaikkan sebelah alis gue tidak paham saat mendengar ucapan Jae.

"Astagfirullah, Bang Jae! Gue masih polos, kenapa bahas gituan di depan gue?" keluh Wira langsung bergegas masuk ke dalam mobil.

Sementara Jae hanya terbahak sambil memasang wajah seolah tidak berdosanya. Ia kemudian menepuk pundak gue tak lama setelahnya sambil berbisik.

"Langsung praktekin, Sat! Nggak usah pake nunggu lama." Setelahnya Jae langsung bergegas masuk ke dalam mobil.

Bang Danu terkekeh lalu ikut menepuk pundak gue. "Jae ada benernya, Sat, nggak usah pake mikir. Tipsnya emang bener semanjur itu, langsung praktek ya. Dah, kita cabut dulu! Selamat bersenang-senang, gue tunggu golnya. Haha."

Gimana ceritanya mau langsung praktek kalau kami bahkan belum pernah sekalipun membahas hal ini. Tahu lah, makin pusing aja gue mikirin ini.

Tbc,

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang