°°
°
°
Gue pikir rencana pernikahan gue dan Jovita bakal semulus jalan tol. Ya, oke, gue berlebihan. Karena rasanya nggak mungkin juga jika hal itu terjadi mengingat kami yang sama-sama baru saling mengenal dan langsung memutuskan menikah. Gue paham kalau Jovita masih meragukan gue. Kalau ini terjadi pada gue, gue pun mungkin akan merasakan hal demikian.
"Ya udah, nggak usah terlalu dipikirin. Sekarang lo istirahat aja dulu, gue mau ngantor. Nanti pulang dari kantor gue ke sini lagi."
Jovita mengangguk sebagai tanda jawaban. Gue kemudian berdiri sambil mengelus kepalanya.
"Cepet sembuh," ucap gue lalu memutuskan untuk keluar dari kamarnya.
Mungkin Jovita masih terlalu shock dan perlu waktu sebelum memantapkan diri bersanding dengan gue di pelaminan nanti. Gue jelas tidak bisa untuk memaksanya. Apapun keputusan yang bakal dia ambil nanti, gue harus terima.
Seketika bayangan wajah Felisya hadir. Kalau Jovita mundur haruskah gue nikah sama dia?
Merasakan frustasi, gue lalu menjambak rambut untuk melampiaskannya.
"Kenapa, Nak Satya, kok rambutnya digituin? Nak Satya sakit juga?"
Seketika gue panik. Buru-buru gue menggeleng cepat. "Enggak, Bu, Satya baik-baik saja kok."
"Oh, kirain kamu-nya ikut-ikutan sakit. Jovita gimana? Udah mau makan?"
Gue mengangguk. "Udah, tadi juga udah minum obat. Katanya abis minum obat ngantuk makanya Satya keluar, biar dia bisa istirahat. Sama sekalian Satya mau izin pamit."
"Kok buru-buru? Mau ngantor?"
Gue kembali mengangguk. "Iya, Bu."
"Enggak sarapan dulu? Ibu tadi bikin nasi goreng, sarapan dulu, ya. Ibu ambilin."
Buru-buru gue menggeleng cepat. "Enggak usah, Bu, ini soalnya udah agak telat."
"Bener juga, udah siang sih ini. Kalau gitu ibu bekalin, ya? Bentar, kamu duduk dulu! Jangan pergi sebelum ibu keluar."
"Enggak usah, Bu, nanti ngerepotin," tolak gue merasa tidak enak.
Ibu tidak menghiraukan gue, dengan cepat beliau langsung bergegas menuju dapur. Dengan sedikit terpaksa gue akhirnya memilih untuk duduk di sofa yang tersedia, sesuai dengan perintah ibu. Nggak nurut nanti dikira durhaka sama calon mertua.
Tak lama setelahnya ibu muncul sambil menenteng goodie bag berisi kotak bekal dan botol air mineral.
Ya ampun, perhatian amat sih calon mertua gue.
"Ya ampun, Bu, jadi ngerepotin."
"Halah, ngerepotin apanya. Enggak, nggak ngerepotin sama sekali. Udah ini dibawa nanti dibuat sarapan di kantor. Inget, meski kamu calon menantu kesayangan Ibu, tapperware dan botol harus tetep pulang. Nggak dicuci nggak masalah, asal dibawa pulang. Ini koleksi kesayangan Ibu, kalau sampai hilang, ibu nggak bakal kasih restu kamu biar jadi menantuku. Paham?"
Anjir, kok serem?
Dengan susah payah, gue menelan saliva gue lalu mengangguk paham. Apa nggak usah gue bawa aja ya, ini tupperware, gue takut hilang, njir.
"Kok malah ngelamun? Bukannya langsung berangkat? Buruan berangkat, nanti keburu makin macet makin telat."
Lamunan gue seketika langsung buyar. Cepat-cepat gue mencium punggung tangan beliau dan berpamitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Express
FanfictionPublish : 10 Maret 2021 End : 17 Januari 2022 Mulai Revisi : 14 Februari 2022 End Revisi : 10 Maret 2022 Jovita Auristella tidak terima dilangkahi sang adik yang baru lulus SMA. Ia bertekad menemukan calon suami yang siap menikahinya sesegera mungki...