48. SATYA

810 128 26
                                    

°

°

°

°

Gue langsung menarik selembar tisu--yang kebetulan tersedia ada di atas meja--lalu menyerahkannya pada Novi. Wajahnya masih terlihat sembab dan kedua matanya terlihat berair.

"Udah lah, Nov, cowok kan nggak cuma satu. Di luaran sana masih banyak cowok yang jauh lebih baik dari mantan lo ini."

Novi membersihkan ingusnya. "Tapi gue sayangnya cuma sama Adit, Bang. Lo nggak ngerti gimana rasanya diputusin pas lagi sayang-sayangnya."

"Gue tahu, Nov."

"Tapi ini gue udah pacaran lama sama dia, Bang," ucapnya ngotot.

Gue terkekeh geli saat mendengarnya. Novi benar-benar adik Jovita, selain wajahnya yang mirip. Mereka kalau ngegas sama persis. "Berapa lama?" tanya gue.

"4 tahun."

Gue langsung tersenyum meledeknya. "Halah, ibarat kata sekolah dasar, 4 tahun itu belum lulus, Nov. Gue dulu ampe lulus. 6 tahun gue pacarannya, njir, dan diputusin gitu aja." Gue langsung mengumpat kasar kalau ingat kenangan pahit itu.

Apalagi wajah memelas Felisya yang meminta balikan, secara tidak sopannya terbayang kembali. Sialan. Gue suka kesel kalau inget.

"Bego banget ya, mantan lo, Bang. Lo kan ganteng dan tajir masa diputusin sih? Lo sok sibuk kali," tuduh Novi tidak langsung percaya dengan ucapan gue.

"Ya kalau masalah sibuk, emang sibuk banget dulu, apalagi masa itu, Nov. Gue sama keluarga gue lagi nggak begitu akur, karena beda visi dan juga misi, gue harus kerja pontang-panting kesana kemari demi nyambung hidup. Tapi sesibuk apapun gue dulu, gue selalu usaha buat nyempetin anter-jemput dia, jam berapapun itu gue jabanin, Nov. Dan hal itu nggak cuma sebulan atau dua bulan, tapi dua tahun lamanya, itu belum termasuk jaman kita masih sama-sama jadi mahasiswa. Udah kayak supir pribadi dia gue dulu."

Tiba-tiba Novi terkekeh samar. "Kasian banget sih Abang gue, ganteng-ganteng cuma jadi supir pribadi."

Gue ikut terkekeh. "Enggak papa, itung-itung buat pengalaman hidup lah. Yang penting gue sekarang udah punya Kakak lo, dan bagi gue itu udah lebih dari cukup."

"Terus alasan dia mutusin lo apaan, Bang?"

"Abis kelar koas dia dapet jatah internship di luar Jawa. Dia nggak mau LDR, ya udah gue diputusin."

"Eh, mantan lo dokter, Bang?"

Gue mengangguk, membenarkan.

"Eh, turun pangkat dong?"

Gue menyipitkan kedua mata tidak paham. "Maksudnya?"

"Ya, itu dari yang dokter jadi pengangguran."

"Sembarangan! Lo, tuh, yang pengangguran," balas gue tidak terima.

Novi langsung terbahak sambil mengumpat samar. "Punya Kakak ipar kalau ngomong suka bener."

"Makanya kuliah, Nov," ucap gue serius.

Novie menghela napas sambil menggeleng tegas. "Enggak, Bang, gue males kuliah. Males gue sekolah terus."

Gue menghela napas. "Ya udah, kalau gitu ambil kursus atau pelatihan apaan gitu. Seenggaknya biar lo punya keahlian, atau lo pengen jadi apa? Profesi apaan yang bener-bener lo pengenin? Gue bakal bantu wujudin, bilang aja!"

"Gue mau jadi istri muda."

Gue langsung mengeram tertahan saat mendengar jawaban Novi. Untung dia cuma adik ipar, coba kalau dia adik kandung gue, udah gue jitak kepalanya. Mencoba untuk tetap bersabar, gue menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Baru setelahnya gue kembali bertanya.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang