64. SATYA

1.6K 110 57
                                    

°

°

°

°

"Siapa sih cowok tadi? Kok keliatannya akrab banget, pake aku-kamu lagi," gerutu gue saat kami masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang.

"Kan tadi udah kenalan, Sat, namanya Joshua. Gimana sih kamu ini? Udah lupa?"

Gue berdecak kesal mendapat respon santainya. Ini istri gue lagi nggak sadar apa kalau gue lagi cemburu? Kurang jelas muka judes gue dari tadi?

"Maksudku hubungan kalian."

"Udah, mending nggak usah tahu sekalian. Nanti yang ada kamu cemburu."

"Dia mantan kamu?" sahut gue menebak.

Jovita berdecak. "Ya, terus kenapa kalau dia mantan aku?" Dengan ekspresi kesalnya.

Gue diam dengan ekspresi cemberut. Bingung juga harus membalas apa, tapi yang jelas gue kesal dengan fakta mantan Jovita yang ganteng. Gue cemburu mengetahui fakta itu.

Jovita menghela napas. "Ya, emang Joshua mantan aku. Ya, terus masalahnya di mana sih, Sat? Dia cuma mantan aku, masa lalu aku. Kita udah punya kehidupan masing-masing. Aku udah punya kamu dan aku punya kamu. Sat, aku udah jadi istri kamu dan sekarang hamil anak kamu. Apalagi yang kamu khawatirin?"

"Dia ganteng."

"Ya, terus kenapa kalau dia ganteng?"

"Aku takut kamu kepincut lagi," sahut gue dengan ekspresi kesal.

Jovita menghela napas panjang. "Ya ampun, capek banget punya suami posesif dan cemburuan." Tangannya kemudian mengelus perutnya, "sabar ya, Nak, Papa kamu emang begitu. Nanti kalau kamu udah besar harus banyak-banyakin sabar ngadepinnya. Mungkin Papa-mu agak sedikit otoriter nantinya."

"Sembarangan!" sahut gue tidak terima, tangan gue kemudian ikut terulur dan mengelus perut Jovita, "enggak, sayang, Papa nggak bakal otoriter kok sama kamu. Kamu tenang aja," ucap gue pada calon anak kami, "jangan percaya sama omongan Mama-mu!"

"Ya, makanya kamu jangan posesif berlebihan, bisa? Belajar kurangin deh, Sat, aku takut nanti kamu posesif juga ke anak kita."

Gue kembali merengut dan menghentikan mobil karena lampu merah. Gue lirik Jovita. "Kamu mana tahu rasanya punya istri cantik dan disukai banyak orang," gerutu gue kesal sambil mengalihkan pandangan gue ke luar jendela.

Di luar dugaan, Jovita tiba-tiba tertawa sinis. Reflek, gue kembali menoleh ke arahnya.

"Kamu juga mana ngerti rasanya punya suami ganteng, anak band, suaranya bagus, pinter main alat musik, punya saham di mana-mana, terkenal, tajir, dan punya segalanya," balasnya tidak terima.

Gue seketika langsung mengumpat samar saat melihat lampu merah sudah berganti hijau. Padahal kalau belum, gue mau cium bibir Jovita dulu karena udah muji gue secara tidak langsung. Duh, kalau istri kita yang hobinya ngegas tiba-tiba muji secara nggak langsung gini sensaninya beda, ya. Kayak tiba-tiba ada kembang bermekaran gitu.

"Aku ganteng ya, sayang," goda gue saat mobil kami sudah melaju kembali, sesekali gue melirik ke arah Jovita yang kini masih memasang wajah juteknya.

"Ya, iya, lah. Menurut kamu, aku bakalan mau gitu kamu nikahin kalau kamu nggak ganteng?"

Kok jawabannya jadi kurang enak?

"Aku sih realistis," sambung Jovita tak lama setelahnya.

"Jadi kamu lebih milih cowok ganteng tapi miskin ketimbang cowok jelek yang kaya?"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang