54. SATYA

742 110 13
                                    

°

°

°

°

Gue memijit pelipis gue yang mendadak terasa pening. Gue tatap anak-anak Enam Hari secara bergantian, gue menghela napas lalu menghampiri Brian. Gue langsung menyerahkan ponsel gue kepadanya.

"Bri, lo sekarang pesen makan deh. Gue mau ngomong sama Wira dulu, lo nggak usah khawatir. Gue berani jamin kalau kita bisa segera rilis album. Jadi, lo nggak harus buang-buang tenaga buat marah-marah nggak jelas begini."

"Kenapa lo bisa seyakin ini, Bang?"

"Karena gue udah tahu kalau bokap Wira pengen dia urus perusahaan. Gue juga udah omongin ini sama Bang Danu dan Mas Hasan, jadi meski Wira nantinya ikut terjun urus perusahaannya, dia tetep di Enam Hari. Fokus dia bakal tetep bikin lagu bareng lo, Bri. Jadi nggak ada yang perlu lo cemasin."

Brian terlihat berpikir sebentar lalu menatap gue. "Pesen makan sepuasnya masih berlaku nggak sih, Bang?"

Seketika gue langsung mengangguk cepat. "Masih, Bri, silahkan sepuas lo mau beli apapun dan berapapun. Berlaku untuk semuanya. Termasuk lo, Dewa, dan, Jae."

Jae hanya mengacungkan jempolnya, sedangkan Dewa hanya mengangguk samar.

"Harus berapa kali gue bilang sih, gue nggak bakal urus perusahaan, Bang."

Gue menghela napas sambil mengangguk maklum. Gue pernah berada di posisi Wira, dan itu memang tidak mudah. Benar-benar tidak mudah sehingga gue tidak bisa memaksa Wira seenaknya.

"Kita pindah tempat ngobrolnya, Wir," ajak gue pada Wira agar segera mengikuti gue.

"Kenapa nggak dicoba aja sih, Wir?" tanya gue saat kita sudah berada di dapur. Gue memberinya segelas air dingin, bermaksud untuk mencairkan suasana.

Bukannya berterima kasih atau apa, Wira malah menatap gue tajam.

"Gue nggak mau," tolak Wira tegas, "lo tahu gue, Bang. Kenapa sih lo harus ikutan maksa? Lo temen gue."

"Wir, gue nggak bermaksud maksa. Gue cuma--"

"Cuma apa? Cuma mau bersekongkol sama bokap gue, Bang?" potong Wira dengan kedua mata yang melotot tajam. Emosi terlihat menguasai dirinya, "apa lo diiming-imingi bakal dikasih saham perusahaan bokap gue kalau seandainya lo berhasil bujuk gue? Iya, Bang?! Dikasih berapa lo?"

"Kenapa jalan pikir lo sedangkal itu, Wir? Hanya demi narik lo yang bahkan belum kompeten masuk ke perusahaan, beliau sampai harus lepas sahamnya. Lo gila?"

Wira diam. Gue menghela napas lalu duduk di hadapannya.

"Minum!" ucap gue.

Awalnya Wira terlihat ogah-ogahan. Namun, pada akhirnya ia tetap meminum air yang gue berikan, tentu saja setelah mendapati pelototan tajam dari mata gue.

Terkadang ngatur Enam Hari memang susah-susah gampang, dipelototi dua detik aja kadang langsung nurut, tapi tidak jarang kami harus adu mulut sampai dua jam baru akhirnya mereka nurut.

"Wir, gue tahu bokap lo masih sehat dan bugar, gue doain selamanya gitu. Beda dengan posisi gue kemarin, gue benar-benar dipaksa dan didesak buat ikut urus pabrik. Gue tahu betul rasanya dipaksa itu nggak enak, jadi gue jelas nggak akan maksa. Gue cuma bilang, apa salahnya dicoba? Lo dikasih pilihan, Wir, pada akhirnya nanti. Bokap lo mau belajar karena lo adalah pewaris Atmaja Grup, lo anak sulung, laki-laki, adek lo perempuan. Lo tega ngebiarin adek lo yang harus nanggung ini semua nantinya? Lo nggak kasian?"

"Tapi, Bang..."

"Bokap lo nggak minta lo bener-bener fokus ke perusahaan doang. Enggak, Wir, beliau ingin lo tetap ngembangin bakat dan potensi lo, tapi di balik itu semua, bokap lo mau, lo tetap ambil tanggung jawab." Gue menghela napas, menjeda kalimat gue, "gini deh, coba lo pikir! Kalau lo ikut ambil alih perusahaan, lo bakal ketemu orang-orang penting dan juga hebat. Di situ lo bisa cari peluang buat kembangin sekolah musik lo biar lebih gede dan dikenal. Nggak semua orang punya kesempatan ini, Wir, dan lo termasuk orang yang beruntung. Kita emang nggak bisa milih bisa terlahir di keluarga yang kayak gimana, tapi, karena kita dikasih kesempatan terlahir dari keluarga yang bercukupan, ya udah lah manfaatin aja lah. Daripada kitanya yang nanti dimanfaatin orang? Iya nggak?"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang