61. JOVITA

869 98 31
                                    

Aku dan Satya duduk bersandingan di tepi ranjang. Ekspresi wajahnya nampak tenang, berbeda jauh dengan aku yang terlihat sedang sangat gelisah meruntuki apa yang sudah aku lakukan tadi pada Jeslyn. Semarah-marahnya aku, tidak seharusnya aku bersikap demikian kalau mengingat kondisi Jeslyn yang tengah mengandung.

"Aku minta maaf soal yang tadi. Enggak seharusnya aku begitu sama dia."

Satya terkekeh sambil mengangguk maklum. "Enggak papa, kamu nggak sepenuhnya salah. Sesekali dia perlu digituin biar sadar dan nggak seenaknya sendiri." Satya menghela napas, "kalau dia cowok udah aku hajar juga pasti dia. Apalagi kalau inget udah aku jadi sasaran Kakek sama Dewa. Ya Tuhan, aku kesel juga, sayang. Mana Dewa nggak kira-kira banget mukulnya, nggak cuma sekali dua kali lagi. Ah, pengen banget aku bales besok."

"Emang kamu nggak coba ngelawan? Pasrah aja gitu pas dipukul?"

Satya mengangguk. "Aku jelas nggak bisa ngelawan pas Kakek yang mukul. Kalau Dewa, jujur aku pasrah karena keinget kamu, apalagi kemarin aku sempet percaya sama omongan Jeslyn, jadi aku pikir aku memang pantes dapetin itu." Ia menghela napas tiba-tiba sambil menatapku penuh arti, "Dewa kayaknya masih cinta mati banget deh sama kamu, aku bisa lihat semua emosinya saat mukul aku kemarin. Rasanya tatapan matanya kayak nggak bakal ngebiarin aku hidup karena udah bikin kamu begitu. Serem banget pokoknya. Kamu nggak bakal ninggalin aku kan?"

Aku diam sebentar lalu mengangguk tak lama setelahnya. Tanpa berpikir lama pun aku tahu jawabannya, mau bagaimana pun sikap Satya, sejujurnya aku memang tidak bisa meninggalkannya. Aku sendiri sebenarnya tidak cukup yakin apa yang akan terjadi padaku kalau seandainya kami jadi berpisah. Ya Tuhan, terima kasih karena sudah membantu menyelamatkan pernikahan kami.

Satya ikut tersenyum. "Kita baikan kan? Aku boleh peluk?" tanyanya meminta izin.

Tanpa menjawab, aku langsung memilih untuk memeluknya.

"Maafin aku, Sat," bisikku sambil menangis.

Satya mengelus punggungku sambil menggeleng. "Enggak, sayang, kamu nggak salah, jadi kamu nggak perlu minta maaf. Apa yang kamu lakukan itu benar, aku yang salah karena nggak jujur sama kamu soal masalah yang ada di pabrik. Maafin aku, ya, kalau aja saat itu aku milih buat cerita sama kamu, aku pasti nggak ngerasa tertekan sendiri dan milih melampiaskannya pada minuman haram itu, yang berujung pada hubungan kita. Maafin aku, sayang, maafin aku, ya?"

Spontan aku langsung mengurai pelukan kami. Kedua mataku menatap Satya kesal. "Kamu tuh bego atau gimana sih? Kamu udah punya istri, Sat, udah punya aku. Kenapa kamu milih dekati barang haram itu ketimbang cerita ke aku, huh? Begitu kamu bilang sayang sama aku?"

Satya meringis. "Enggak gitu, sayang, maksudnya aku nggak mau bikin kamu kepikiran--"

"Enggak bikin aku kepikiran tapi kami hampir bikin aku jadi janda, Sat," potongku kesal, "pernikahan kita yang jadi taruhannya. Kamu sadar nggak sih?"

Satya menunduk penuh penyesalan. "Iya, aku tahu, aku salah. Aku bego juga, padahal jelas-jelas aku punya kamu, tapi aku malah nyari masalah. Maafin aku, ya, kan kita baru baikan. Masa udah berantem lagi?"

"Habis kamu bikin aku kesel, Sat."

"Iya, aku ngaku salah, sayang. Maafin, ya?" bujuk Satya sambil meraih kedua telapak tanganku.

Aku masih memalingkan wajahku ke sembarangan arah. Jujur, aku kesal sekali kalau ingat pemicu dari masalah ini berawal dari Satya sendiro. Ya, memang aku tidak bisa menyalahkan dia seutuhnya, tapi di sisi lain, aku seperti ingin menyalahkan dia. Coba kalau dia cerita sama aku, meski tidak bisa membantu banyak, setidaknya aku bisa bantu kasih dukungan. Satya nggak harus menanggungnya sendirian.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang