28. SATYA

712 118 8
                                    

°

°

°

°

"Ya, halo," sapa gue dengan suara yang terdengar tidak ramah.

Ya, gimana mau ramah, gue lagi kesel, sekesel-keselnya. Pengennya ngamuk orang, eh, mantan malah telfon. Gimana gue mau ramah? Ya, nggak bisa lah.

"Berita yang beredar itu benar, Sat?"

Gue menghela napas pendek. "Yang mau nikah bener, tapi kalau gosip yang beredar dia hamil duluan itu sama sekali nggak bener. Mereka--"

"Aku nggak tanya itu," potong Felisya cepat. Dari nada suaranya terdengar kembali berbeda, sedikit bergetar seperti orang yang sedang menahan tangis, "kamu serius mau nikah? Secepet ini? Di saat aku minta balikan? Kamu nggak mau kasih aku kesempatan dulu, Sat? Kamu tega giniin aku?"

Gue menjambak rambut gue frustasi. "Sya, kita udah nggak ada hubungan apapun. Hubungan kita sudah berakhir dan lo yang sendiri yang mengakhirinya. Sekarang gue udah move on, gue mau melanjutkan hidup gue dan itu nggak dengan lo lagi."

"Aku nggak nyangka kamu bakal begini."

"Kenapa? Karena dulu gue cinta mati sama lo?"

"Iya, kamu bilang dulu kamu nggak bisa hidup tanpa aku? Kenapa sekarang kamu malah mau nikah sama orang lain? Kenapa kamu sejahat ini sama aku, Sat? Kenapa? Apa karena aku dulu pernah ninggalin kamu? Makanya kamu bales dendam gini? Harus banget pake cara ini?"

Suara Felisya terdengar frustasi. Sama gue juga frustasi dengernya. Ya Tuhan, masalah gosip yang beredar dan bagaimana kondisi Jovita setelah denger gosip ini aja udah bikin gue pusing. Lah, si mantan malah nambah-nambahin.

"Sya, gue mau nikah bukan karena mau balas dendam ke lo, seperti yang lo tuduhin barusan. Tanpa ketemu lagi atau dengar pengakuan lo, gue tetep bakal nikah. Dan soal kenapa gue bisa hidup tanpa lo, padahal dulu gue bilangnya enggak bisa." Gue menjeda kalimat gue sambil menghela napas, "Sya, lo inget baik-baik! Lo sendiri yang memaksa gue untuk belajar hidup tanpa lo. Awalnya memang rasanya berat dan gue beneran ngerasa nggak sanggup, tapi akhirnya gue bisa karena apa lo pikir? Karena lo yang maksa gue buat demikian."

Terdengar suara sesegukan dari seberang. Membuat gue berdecak frustasi sambil menjambak rambut gue sekali lagi. Begini ya, kalau urusan sama perempuan. Susah, nggak peduli siapa yang salah yang bersalah pasti pihak laki-laki.

"Aku masih sayang sama kamu, Sat."

Ya Tuhan, ini gue harus jawab bagaimana kalau begini.

"Aku mau kita balikan, aku mau kita memulai semuanya dari awal. Aku mau berubah, Sat. Kita perbaiki semua dari awal. Kasih aku kesempatan, Sat. Aku mohon. Aku harus gimana sih biar kamu mau? Bilang aja, aku bakal lakuin semuanya asal kamu mau balikan sama aku lagi. Aku--"

"Sya," panggil gue memotong ucapannya, "lo nggak harus ngelakuin apapun selain bahagia. Gue cuma mau lo bahagia bersama orang lain, jangan melakukan hal yang nggak seharusnya lo lakuin, Sya."

"Tapi aku sayang kamu."

"Gue juga, tapi udah nggak kayak dulu lagi. Gue sayang sama lo sebagai temen dan nggak bisa lebih."

Hening.

"Sya," panggil gue khawatir.

"Aku nggak tahu harus gimana, Sat. Aku beneran masih sayang kamu. Meski tahu udah nggak ada kesempatan, tapi aku masih mau mencoba. Apa aku salah?"

Kali ini gue yang diam.

"Aku bakal setia nunggu kamu, Sat. Jangan ragu hubungi aku kalau kamu berubah pikiran."

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang