50. SATYA

842 119 25
                                    

°

°

°

°

"Gimana kabar istrimu?"

Gue spontan langsung menaikkan sebelah alis gue. Terkejut dengan pertanyaan Kakek yang tumben-tumbenan nanyain Jovita. Meski pada akhirnya beliau memilih untuk tidak ikut campur, tapi Kakek tidak lantas bersikap welcome terhadap Jovita. Bahkan sikap beliau masih terkesan dingin terhadap Jovita.

"Maksud Kakek istrimu sudah ada tanda-tanda hamil belum? Usia pernikahan kalian sudah hampir setengah tahun, tidak mungkin kan kalau dia belum juga hamil?"

Loh, kenapa tidak mungkin? Bukankah di dunia ini semua bisa saja terjadi, lalu kenapa Kakek dengan entengnya bilang enggak mungkin Jovita belum hamil meski usia pernikahan kita sudah masuk bulan ke lima. Astaga! Gue kesel. Gue pengen marah tapi sadar diri gue nggak bisa ngelakuin itu.

"Belum, Kek, doanya saja," ucap gue singkat dan sekalem mungkin.

"Kalau istrimu tidak bisa hamil, mending kamu ceraikan saja dia. Kakek nyuruh kamu menikah agar segera punya keturunan. Kalau dia tidak kunjung hamil, buat apa? Mending tinggalin dan nyari yang bisa cepat kasih keturunan. Kakek tidak bisa menunggu lama, Sat."

Gue mengepalkan telapak tangan gue menahan geram. Tersinggung sekaligus marah. Bagaimana bisa orangtua yang sudah melewati pasang surutnya kehidupan tega bicara begitu? Lama-lama gue bisa kehilangan respect kepada beliau.

Sedih sekaligus kecewa benar-benar tengah gue rasakan. Dulu waktu gue kecil, Kakek adalah orang yang sangat gue hormati maupun gue sayangi, bahkan dulu gue merasa lebih sayang Kakek ketimbang Papa. Tapi saat beranjak dewasa semua berubah. Kakek yang dulunya memberi semua yang gue inginkan, mendadak pamrih dan meminta gue melakukan apapun yang beliau inginkan. Semenjak saat itu gue sadar maksud di balik semua kebaikan Kakek waktu kecil.

"Kakek rasa Jeslyn pasti masih mau menggantikan posisi istri kamu. Atau mantan kamu yang dokter itu juga Kakek tidak masalah asal dia mau dan siap memberi kamu keturunan, tapi kalau dia terlalu bersikekeuh dengan karirnya lebih baik jangan. Berarti Jeslyn pilihan yang tepat."

"Cukup, Kek, Satya tidak mau denger apapun itu. Sekarang Satya sudah punya istri, sudah menikah sesuai keinginan Kakek, sekarang bahkan Satya fokus ngurus pabrik. Apa semua itu masih kurang di mata Kakek?"

"Masih. Kamu harus memberiku keturunan, Sat. Dan aku mau keturunanku kali ini harus laki-laki, aku tidak butuh Cicit perempuan. Cucu perempuanku sudah terlalu banyak."

Demi Tuhan, emosi gue nyaris meledak saat ini juga. Gue nggak yakin apa yang bakal gue lakuin kalau saja ponsel gue nggak berbunyi. Mencoba meredam emosi gue yang nyaris sampai ubun-ubun, gue langsung berdiri dan menghampiri ponsel gue yang terletak di atas meja kerja. Nama ibu yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang gue langsung menjawab panggilan tersebut.

"Ya, assalamualaikum, Bu."

"Wa'allaikumsalam, Sat, kamu masih ngantor?"

Perasaan gue mendadak tidak enak mendengar suara Ibu yang terdengar panik.

"Iya, Bu, Satya masih di kantor. Kenapa, Bu? Ada masalah?"

"Istrimu..."

Jovita?

"Jovita kenapa, Bu? Jovita baik-baik saja kan?"

"Tadi dia kepleset, Sat, pendarahan. Sekarang lagi ibu bawa ke rumah sakit, bisa kamu nyusul ke sini?"

Kepleset?

Jovita kepleset di mana sampai pendarahan dan perlu dilarikan ke rumah sakit?

"Emang Jovita kepleset di mana, Bu?"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang