40. SATYA

876 126 36
                                    

°

°

°

°

Saat gue sampai di studio hanya ada Dewa yang sudah di sana. Tadi Bang Danu memberi kabar kalau dia sedang otw. Gue juga kurang paham maksud dari otw Bang Danu kali ini sedang benar-benar dalam perjalanan atau hanya sekedar biar tidak gue tanyain mulu.

Ragu-ragu gue masuk ke dalam ruangan dan duduk di sofa. Dewa sedang fokus dengan laptop dan lebaran kertas. Bertahun-tahun saling mengenal, gue paham ekspresi tidak nyaman yang Dewa tunjukkan. Gue akui suasana kali ini benar-benar tak nyaman.

"Masih banyak revisian, Wa?" tanya gue basa-basi.

Dewa melirik gue sekilas lalu mengangguk.

"Bang, gue mau minta maaf soal yang semalem. Gue akui gue salah," ucap Dewa tiba-tiba.

Gue menggeleng. "Lo nggak salah, Wa, apa yang lo omongin kemarin nggak sepenuhnya salah. Gue seneng lo mau ngingetin gue kalau semisal gue nggak bener dalam menjalankan posisi gue sebagai leader di grup. Gue sama sekali nggak masalah dengan itu justru gue berterima kasih banget, Wa, artinya lo peduli sama gue dan grup kita." Gue menghela napas sambil menatap Dewa serius, "tapi kalau boleh jujur gue kecewa juga sama lo yang minta gue untuk ninggalin grup. Apa seenggak pantes itu gue di grup?"

Dewa menunduk sambil menggeleng cepat. "Enggak gitu, Bang, gue ngaku salah kemarin. Maafin gue," cicitnya takut-takut.

Demi Tuhan, gue enggak ada maksud bikin Dewa takut begini. Sambil menghela napas gue kembali mengangguk maklum.

"Gue cuma lagi mumet sama revisian skripsi dan nggak sengaja sembur lo kemarin. Udah gitu aja, maafin gue, Bang. Gue ngaku salah."

"Wa, gue kenal lo nggak satu dua bulan. Tapi lima tahun lebih, gue tahu mumetnya revisian cuma alasan lo aja. Gue tahu bukan itu alasan sebenernya. Jujur sama gue, Wa! Ini ada hubungannya sama Jovita kan?"

Mendengar gue menyebut nama Jovita, tubuh Dewa langsung menegang. Terlihat cukup jelas kalau ia mendadak panik.

Tuh, kan, gue bener. Ini pasti ada hubungannya dengan Jovita.

"Lo belum ikhlasin Jovita buat gue, Wa?"

"Enggak semudah itu, Bang," aku Dewa dengan suara lirih.

Napas gue seketika tercekat. Terkejut luar biasa tengah gue rasakan saat mendengar pengakuannya. Betapa jahatnya gue telah merebut kebahagiaan orang yang udah gue anggep adik sendiri.

"Gue butuh waktu," sambungnya kemudian.

Gue merasa semakin tertampar akan fakta ini.

"Lo bener, Bang, kenapa gue kemarin marah-marah itu semua memang ada hubungannya sama Jovita. Gue benci dengan fakta kalau perempuan yang harus lo nikahi adalah dia. Dari sekian banyak perempuan di dunia ini kenapa lo harus memilih dia? Gue sayang dan cinta sama Jovita, Bang, tapi lo dengan mudahnya merebutnya dari gue yang bahkan belum memulai apapun. Bisa lo bayangin gimana perasaan gue? Lo punya segalanya, Bang, sedangkan gue enggak. Gue udah kalah telak dari lo. Gue coba sadar diri dan mencoba menerima semua ini meski berat. Tapi puncaknya kemarin, lo pamer kemesraan di grup dan bilang nggak tega ninggalin dia sendirian di rumah. Gue cemburu, Bang. Gue iri dengan kebahagiaan kalian."

"Meski berat gue coba menguatkan diri dan setuju dengan ide lo supaya kita kumpul di rumah lo. Tapi setelah semua usaha gue untuk menguatkan hati, lo usir kita, Bang. Bisa lo bayangin gimana perasaan gue saat itu?"

Setelah Dewa mengeluarkan semua unek-uneknya, gue hanya mampu menggumamkan kata maaf dan maaf. Gue bener-bener nggak tahu kalau Dewa sehancur ini karena pernikahan kami. Gue akui, gue menyesal karena tidak peka dengan situasi dan kondisi. Tapi seandainya gue peka pun, gue juga nggak tahu harus ngapain.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang