60. SATYA

886 112 116
                                    

°

°

°

°

Gue merasakan seluruh tubuh gue lemas dan seolah tidak bertenaga. Susah payah gue membuka mata gue dan menemukan Jovita duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Pandangannya kosong dan pipinya basah. Hati gue sakit banget melihatnya.

"Sayang," panggil gue lemah.

Air mata Jovita kembali jatuh. "Kamu bisa nggak sih, Sat, kalau abis bikin aku sedih, nggak usah bikin khawatir juga?" Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "kamu tahu nggak sih gimana paniknya aku tadi pas kamu pingsan?" serunya marah.

"Maaf," ucap gue penuh penyesalan.

Demi Tuhan, bukan mau gue bikin Jovita sedih apalagi khawatir. Kalau bisa, gue mau bikin dia bahagia terus. Tapi apa mau dikata, gue justru nyakitin dia terus-terusan.

Sekuat tenaga, gue berusaha untuk bangun. Namun, rasanya berat. Gue merasa lemas tidak karuan. Badan gue rasanya sakit semua.

"Kamu mau ngapain, Sat? Enggak usah aneh-aneh!" omelnya langsung berdiri.

Gue spontan tersenyum melihat raut wajah Jovita yang penuh kekhawatiran.

"Enggak usah senyum-senyum kamu, Sat! Kita belum baikan, ya."

Senyuman gue seketika langsung sirna. Dengan wajah pasrah, gue mengangguk pelan.

"Mau makan sekarang?" tawar Jovita.

Gue menggeleng. "Enggak nafsu."

Jovita langsung melotot tajam ke arah gue.

Gue meliriknya takut-takut. "Tapi kalau disuapin aku mau."

Dengan wajah judesnya, Jovita berdiri. "Ya udah, nggak usah makan sekalian," ketusnya kemudian.

Gue hanya mampu menghela napas pasrah saat Jovita memutuskan untuk keluar kamar. Gue pikir Jovita masih peduli sama gue, tapi ternyata gue salah. Menyedihkan banget sih nasib gue?

Gimana ya cara membuktikan kalau anak yang Jeslyn kandung bukan anak gue? Tes DNA bisa nggak sih dilakukan meski bayinya belum lahir? Astaga, ngaco banget sih otak gue.

Eh, tapi tunggu, sekarang kan zaman udah canggih, kali aja emang beneran udah bisa. Kenapa gue nggak coba tanya Bang Randu?

Seolah dapat kekuatan super, gue yang tadinya merasa lemas dan tidak berdaya langsung bangun dari posisi berbaring, dengan gerakan spontan gue mencari keberadaan ponsel gue. Mencari nomor baru Bang Randu dan akhirnya ketemu. Untung saja gue simpen nomornya.

Lama menunggu, akhirnya panggilan gue terjawab.

"Sorry, Sat, baru pegang hape, abis ambil tindakan. Kenapa lo nelfon? Tumben? Jovita udah telat? Mau konsul lo? Enggak bisa, ya, sebelum lo kirim bukti transfer dulu."

Gue reflek berdecak kesal saat mendengar cerocosan Bang Randu. Ini orang katanya masih belum bisa move on dari mantannya, tapi masih aja bercanda mulu. Apa jangan-jangan udah dapet yang baru ya di sana?

"Gue mau nanya serius, Bang."

"Nanya aja, perkara mau gue jawab atau enggak tetep tergantung pada bukti transferan ya."

Gue kembali berdecak kesal dan Bang Randu malah terbahak. Kepala gue masih nyut-nyutan rasanya, masih aja diajak bercanda mulu. Eh, Bang Randu kan nggak tahu kalau gue sakit, ya.

"BANG!"

"Ebuset, ngegas banget lo? Iya, iya, gue jawab elah. Makanya nanya tinggal nanya, nggak usah pake prolog segala. Ini telfon luar negeri, Sat, biayanya beda. Lo mah enak, tajir dari sononya. Lah, gue?"

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang