7. JOVITA

882 109 1
                                    


"Wa, gue titip Jovita, ya. Bokap gue udah sadar, gue harus balik ke RS."

"Jov, lo sama Dewa dulu, ya. Minta anterin dia balik, gue cabut duluan," ucap Satya padaku. Tanpa menunggu jawaban kami, Satya langsung berlari keluar dari studio.

Tubuhku mematung selama beberapa saat. Ucapan Satya masih terngiang di dalam otakku 'gue titip Jovita'. Apa maksud dari ucapannya itu? Kenapa pula aku dititipin? Emangnya aku barang, pake dititipin segala? Batinku tidak terima.

"Gue titip Jovita." Kalimat itu kembali terngiang di otakku. Aku berdecak kesal setelahnya. Kenapa rasanya agak aneh ya perasaanku waktu denger kalimat itu.

"Ta," panggil Dewa membuyarkan lamunanku, aku lantas langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung. Baru saja aku tersadar kalau masih di studio mereka bersama Dewa.

"Ya? Kenapa, Wa?"

"Kamu ngelamun?" tanya Dewa sedikit ragu.

Aku menggeleng cepat. "Gue laper deh, di studio kalian ada makanan nggak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan sekaligus benar-benar merasa lapar.

"Mau Go-Food? Di studio nggak ada apa-apa kecuali stok mie instan atau kopi. Kamu mau makan apa? Biar aku pesenin." Dewa kemudian meraba-raba kantong celana, mencari keberadaan ponselnya. Namun, tidak kunjung ia temukan keberadaan ponselnya. Kutebak ia pasti lupa menaruh di mana.

Kebiasaan lamanya belum berubah ternyata.

"Lupain! Kita makan mi instan aja lah, biar cepet nggak pake lama. Soalnya gue udah laper banget."

Dewa masih berusaha mencari ponselnya. "Bukan gitu, masalahnya lupa lupa narohnya di mana." Ia berdecak sambil mengacak rambutnya, "pinjem hape kamu boleh?"

Aku memicingkan mata curiga. "Lo mau modusin gue ya?" Meski begitu, aku tetap merogoh kantong celana jeans-ku, mengambil ponsel dari dalam sana dan menyerahkannya pada Dewa.

Dewa menerimanya ponsel yang kusodorkan, mengutak-atik sebentar lalu merogoh saku celana bagian belakang dan mengeluarkan ponselnya dari dalam sana.

Mataku melotot spontan. "Anjir, beneran dimodusin nih gue?"

Dewa terkekeh lalu mengembalikan ponselku. "Save nomorku, ya."

Aku langsung merebut ponselku kembali. "Gue udah jadi korban yang keberapa nih?"

"Kamu yang pertama."

Mendengarnya, membuatku mendadak mual dan ingin muntah.

"Aku serius, Ta."

Aku manggut-manggut dengan ekspresi datar. "Iya in aja deh, biar cepet kelar."

"Buru-buru banget," balas Dewa sambil terkekeh santai, ia kemudian memintaku agar mengikutinya.

Aku pun dengan pasrah hanya bisa mengikutinya dari belakang. Karena bingung juga nggak ada tempat buat ngungsi. Soalnya aku masih agak enggan untuk pulang.

Saat kita sampai di pantry, Dewa menyuruhku langsung duduk di sebuah kursi yang ada di sana. Meski awalnya ingin menolak, aku lagi-lagi hanya bisa pasrah dan duduk. Sedangkan Dewa membuka lemari gantung mencari sesuatu untuk kita makan.

"Adanya ginian doang, Ta? Yakin nggak mau Go-Food aja? Bang Danu kayaknya belum belanja deh, stok kopi juga udah pada mau abis."

Dewa menoleh ke arahku sambil menunjukkan dua cup mi instan bermerk. Ekspresi tidak enak terlihat pada wajah gantengnya.

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang