24. SATYA

812 124 18
                                    

°

°

°

°

Pagi ini gue enggak ngantor atas perintah Mama. Beliau tadi pagi tiba-tiba menelfon dan mengatakan telah membuat janji temu dengan Bang Randu, Kakak sepupuku yang berprofesi sebagai seorang dokter kandungan. Kalian tidak salah dengar, iya, gue emang nyebut dokter kandungan. Dan kalian tahu kenapa nyokap gue sampai begini?

Jawabannya karena Jovita. Bukan, kalau kalian berpikir Mama gue mengira Jovita sedang hamil muda, berarti kalian salah. Mama nyuruh Jovita periksa ke dokter kandungan karena sejak kemarin nyeri haid.

Padahal bukankah nyeri haid itu wajar? Meski tidak semua perempuan mengalami, seperti Mbak Mita, tapi kebanyakan juga perempuan akan merasakan yang namanya nyeri datang bulan itu kan? Paling juga tingkat rasa nyerinya saja yang berbeda-beda, tapi pada umumnya kan nyeri haid itu selalu muncul apalagi di awal kedatangan.

Jovita sendiri bilang ia sudah terbiasa, tapi nyokap gue tetep aja ngeyel dan nyuruh gue periksa.

"Nyeri haid memang wajar, tapi kalau sampai mengganggu aktivitas, itu yang nggak wajar. Calon istri kamu nyeri haidnya sampai nggak ngapa-ngapain loh, jadi wajib diperiksakan. Kalian mau menikah, Sat, Mama nggak mau kamu nyesel nantinya. Udah nurut aja apa kata Mama, ini semua juga demi kebaikan kalian berdua."

Kurang lebih begitu lah perkataan Mama saat menelfon gue tadi pagi. Alhasil, di sini lah gue sekarang. Di rumah Jovita ditemani secangkir teh dan gorengan. Kebetulan Jovitanya sedang ganti baju.

"Mau ke mana, Bang, kok pagi-pagi udah ke sini? Nggak ngantor lo?"

Tak berapa lama kemudian, Novi datang dan duduk di sebelah gue. Ia baru saja pulang dari pasar, mengantarkan Ibu berbelanja.

"Libur. Mau nganterin kakak lo."

"Kemana? Ini masih hari kedua Kak Jov loh, mana mau dia diajak pergi, keluar kamar aja suka ogah-ogahan. Ibu sering banget sampe ngomel-ngomel karena Kak Jov yang susah makan kalau lagi periode begini."

"Rumah sakit."

"Hah?" Novi terlihat terkejut.

Gue mengangguk, membenarkan. "Atas perintah calon mertua, Nov, jadi Kakak lo mau nggak mau harus mau. Udah nggak bisa nolak dia." Gue terkekeh tak lama setelahnya.

"Oh, mau periksain itu ya, kenapa Kakak gue kalau mens suka sampe sebegininya? Bagus, tuh, Bang, soalnya kita udah capek ngebujuk Kak Jov buat periksa ini. Alhamdulillah, bujukan Mama-nya Bang Satya mempan."

Gue meringis mendengar pengakuan Novi. Perasaan khawatir mulai menyelimuti perasaan gue, pikiran buruk tiba-tiba hadir. Bagaimana kalau kondisi Jovita serius, ya? Ya ampun, semoga saja tidak.

Tak berselang lama setelah obrolan kami, Jovita keluar dari kamar. Gue kembali meringis saat melihat wajah Jovita yang terlihat pucat. Gila, baru tahu gue kalau periode bulanan bisa bikin seseorang jadi begini.

"Ya ampun, Kak, pake make up yang tebelan dong, itu muka lo keliatan pucet banget," komentar Novi.

"Mager," komentar Jovita judes. Ia kemudian menatap gue, "berangkat sekarang aja, Sat," ucapnya kemudian.

Gue langsung mengangguk dan berdiri. "Nov, panggil ibu, gue mau berangkat."

Novi mengangguk patuh sambil mengacungkan jarinya membentuk huruf O. Ia kemudian segera bergegas menuju dapur. Tak berselang lama, Ibu keluar dengan balutan daster batiknya.

"Berangkat sekarang?"

Gue mengangguk. "Iya, Bu, nanti keburu siang. Biar nggak kelamaan ngantrinya."

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang