51. JOVITA

765 115 24
                                    

Aku termasuk tipe orang yang kurang bersahabat dengan rumah sakit. Meski kenyataannya tempat itu tidak hanya menciptakan momen kesedihan, di mana kita kehilangan orang-orang tersayang. Tapi rumah sakit juga tempat di mana secercah harapan hadir. Di mana bayi-bayi dilahirkan dan membawa kebahagiaan, tempat mukjizat bagi orang-orang yang berpenyakit akhirnya diberi kesembuhan.

Dulu saat aku kecil aku pernah tersesat di rumah sakit. Saat itu aku lolos dari genggaman tangan Ayah yang biasanya tidak pernah melepaskan genggamannya. Aku yang merasa seperti diberi kebebasan jelas tidak ingin kehilangan kesempatan itu. Dengan sesuka hati aku meninggalkan Ayah dan pergi kemana pun yang aku suka. Lalu saat aku hendak ingin mencari keberadaan Ayah, aku tidak menemukan beliau.

Meski saat itu usiaku masih cukup kecil, tapi aku berusaha untuk tidak menangis dan memilih untuk berusaha mencari keberadaan beliau. Tapi hampir setengah hari aku berkeliling aku tidak kunjung menemukan mereka. Alhasil, aku menangis kencang dan akhirnya dibantu petugas medis untuk mencari keberadaan orangtuaku. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah berani datang ke rumah sakit sendirian. Itu lah sebabnya kenapa dulu aku sempat mengintili Satya saat menunggu Wendy lahiran. Bisa dikatakan aku tidak menyukai rumah sakit karena trauma pernah hilang.

Ditambah saat mendapati fakta aku yang baru saja kehilangan bayiku. Rasanya, aku seperti semakin tidak menyukai rumah sakit. Sedih dan terpukul masih jelas ku rasakan. Rasanya masih begitu berat untuk ku mengikhlaskan. Sekian lama aku menantikan kehadirannya, tapi saat mengetahui dia ada ternyata aku harus merelakannya pergi. Sejujurnya, masih berat bagiku untuk merelakannya.

"Sayang, makan dulu, ya," ucap Satya dengan suara lembutnya.

Aku langsung menoleh ke arah Satya sambil mencoba memaksakan tersenyum. Semenjak aku selesai kurete kemarin, Satya selalu memanggilku sayang. Tidak sekalipun aku mendengarnya menyebut namaku. Sebenarnya, semenjak hubungan kami menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, dia memang sesekali memanggilku sayang. Namun, tetap saja dia lebih sering memanggilku nama.

Kini Satya duduk di tepat sebelahku, di atas ranjang pasien sambil membawa semangkuk bubur.

"Ayo, buka mulutnya!" intruksinya kemudian.

Aku membuka mulutku dan Satya langsung menyuapiku. Lalu tak lama setelahnya ia kembali menyendok lagi. Namun, dengan porsi yang sedikit lebih besar dari yang tadi. Aku langsung memukul lengannya lalu menunjuk mulutku yang baru hendak menelan bubur itu.

"Jangan banyak-banyak, Sat! Aku makan sendiri aja deh kalau gitu," protesku kemudian.

"Kepedean kamu, ini buat aku sendiri," ucapnya santai lalu memasukkan sesendok penuh bubur ke dalam mulutnya sendiri.

Hal ini sukses membuatku terkekeh tidak percaya.

Astaga, suami gue?

"Makan semangkuk berdua biar lebih enak dan romantis," imbuh Satya lalu kembali menyuapiku, setelahnya ia menyuapi dirinya sendiri.

"Romantis apa ngirit sih, Sat?"

"Ngirit?" beo Satya dengan kedua alisnya yang terangkat, "apaan tuh?"

Seketika aku langsung mendengus keras. "Sombong," cibirku kemudian.

Kedua bahu Satya langsung terangkat seolah tidak peduli. "Yang mukanya pas-pasan dan nggak kaya aja bisa sombong. Masa aku enggak?"

Aku akhirnya mangguk-mangguk setuju. "Iya, deh, iya, yang GANTENG plus KAYA," ucapku penuh penekanan pada bagian ganteng dan kaya.

"Pinter." Satya langsung mengacungkan jempolnya, "sini kasih hadiah dulu."

Marriage ExpressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang